REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG -- Dalam menghadapi tantangan ke depan sekolah dinilai harus segera melakukan perubahan dalam sistem pembelajarannya. Salah satunya adalah bagaimana membuat anak senang belajar di sekolah.
"Anak-anak harus dibuat kasmaran terhadap belajar. Sekolah harus membuat suasana seperti anak berada di rumah," ujar Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal, saat berkunjung ke tiga sekolah model GSM di Tangerang Selatan, Rabu (2/5).
Salah satu ciri budaya belajar yang baik, kata Rizal, adalah ruang tata kelasnya tidak boleh konvensional atau kaku. Anak harus bisa belajar seperti saat di rumah dimana terkadang mereka bisa belajar sambil menonton televisi, sambil duduk di teras, sambil tidur-tiduran, dan sebagainya.
Rizal juga menekankan jangan ada lagi ada sekolah yang hanya menekankan pada pembelajaran kognitif hafalan semata. Hal itu menurutnya adalah sistem pembelajaran yang telah usang.
"Sistem pembelajaran yang harus diterapkan adalah bagaimana memanfaatkan informasi yang ada di internet. Jadi yang diajarkan adalah keterampilan berpikir, baik berpikir kreatif dan berpikir kritis," kata dosen Teknik Elektro UGM itu.
Apalagi talenta yang dimiliki anak-anak itu banyak dan berbeda-beda seperti melukis, olahraga, matematika, menari, bermain musik, dan lain sebagainya. Harapannya, dengan sistem pembelajaran demikian kemampuan kompetensi anak-anak akan semakin bertambah. "Kalau bisa sistem belajarnya harus membangun semua talenta tersebut," ujarnya.
Rizal memaparkan kompetisi yang harus diharapkan dimiliki anak di masa depan ada tiga, yakni yang pertama kemampuan literasi. "Literasi tidak hanya membaca buku 10-15 menit, namun mampu membaca bacaan panjang. Kemudian mampu merefleksikan isi bacaan tersebut serta menggunakan informasi yang diperoleh untuk menyelesaikan persoalan yang ada di masyarakat," kata Rizal.
Kedua adalah memiliki kemampuan daya kritis, kreatif, komunikatif, kolaboratif, dan daya saing. Ketiga adalah menciptakan gairah hidup (passion). "Sehingga fungsi guru bukan lagi sebagai sumber belajar, namun sebagai motivator dan fasilitator," ujar alumnus Monash University Australia itu.