REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Program Studi Kajian Wilayah Amerika (KWA) Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI) menggelar Diskusi American Update dengan tema "Gerakan Perempuan di Amerika Serikat pada Era Donald Trump". Diskusi yang dimoderatori pengajar KWA SKSG Universitas Indonesia Ully Damari Putri, PhD bertujuan untuk memberikan gambaran secara umum apa yang tengah terjadi di Amerika Serikat, terutama terkait dengan gerakan perempuan.
Narasumber dalam diskusi tersebut Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI Prof Melani Budianta dan Ketua Program Studi S2 Susastra di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI Dr Dhita Hapsarani. Prof Melani mengatakan gerakan perempuan Amerika Serikat dan dunia merespon kemenangan Donald Trump dengan gerakan transnasional, yang ditandai dengan Pawai Perempuan Dunia (Global Women's March) sebagai gerakan simbolik setelah pelantikan presiden Amerika Serikat pada 2016.
Di sisi lain, menurut Prof Melani, kekalahan calon presiden Amerika Serikat Hillary Clinton oleh Donald Trump pada Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016 justru memberi semangat perempuan Amerika untuk maju ke ruang publik. Menurutnya, terjadi pelebaran dan sosialisasi kesadaran tentang isu-isu perempuan pada generasi muda, serta lintas kelas, ras, dan gender.
Selain gerakan perempuan yang berjuang di ranah politik, kata Prof Melani, terdapat lapis kedua gerakan perempuan yang ikut berjuang dengan cara yang berbeda. "Ada gerakan lain. Di kita gerakan milenial yang tidak sama sekali mikir politik dan feminis. Tapi dengan gerakan #MeToo itu tiba-tiba mereka bangun," kata Prof Melani, Jumat (4/5).
Terkait kemenangan Trump yang justru memicu gerakan perempuan untuk kembali bergairah, Prof Melani menyebutnya sebagai hikmah. "Blessing in disguise," katanya.
Dhita Hapsarani mengatakan transformasi gerakan perempuan di ranah politik Amerika pascakemenangan Trump dipicu kebijakan yang merugikan perempuan. Misalnya, kata Dhita, penyediaan alat kontrasepsi yang dulu diberikan secara gratis sekarang tidak lagi. "Perempuan menjadi rentan, kondisinya lebih rentan dari laki-laki," kata Dhita.
Prof Melani menambahkan, kebijakan terhadap imigran dampaknya juga dirasakan imigran perempuan dan anak-anak yang sangat rentan. Menurut, Prof Melani, perlindungan terhadap kalangan yang termarjinalkan menjadi rentan. "Tidak hanya bicara terhadap perempuan tapi juga posisi yang lemah menjadi kepedulian perempuan Amerika," ujar Prof Melani.
Dhita menyebutkan sejumlah capaian gerakan perempuan Amerika di bidang politik. Di antaranya, terpilihnya perempuan kulit hitam pertama sebagai mayor Charlotte, North Carolina dan terpilihnya perempuan kulit hitam pertama sebagai wakil gubernur New Jersey. Kemudian, terpilihnya 28 perempuan Latina, Asia, serta kaum transgender yang duduk di Virgina Houses, dan sebanyak 10 perempuan atau sekitar 27 persen yang duduk di Senat. Selain itu, pertama kalinya terjadi di Alabama, suara perempuan kulit hitam berjumlah sangat besar mendukung Senator Doug Jones, mantan jaksa yang berhasil memenjarakan anggota Ku Klux Klan.
Ketua Program Studi Kajian Wilayah Amerika SKSG Universitas Indonesia Bayu Kristianto, PhD mengapresiasi jalannya diskusi yang berlangsung interaktif. Menurut Bayu, diskusi ini selain sangat inspiratif juga menjawab seputar isu-isu feminisme. "Terima kasih kepada narasumber dan peserta diskusi yang hadir. Kita akan melanjutkan dengan diskusi-diskusi berikutnya," kata Bayu.