REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyusupan nilai-nilai radikalisme ke sekolah dapat masuk melalui tiga pintu, yakni alumni, guru, dan kebijakan sekolah. Hal itu diungkap oleh hasil penelitian yang dilakukan Maarif Institute pada 2 hingga 21 Oktober 2017 lalu.
Penelitian bertajuk "Penguatan Kebijakan Pembinaan Kesiswaan (OSIS) dalam Memperkuat Kebhinekaan dan Kehidupan Inklusif di Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah" itu dilakukan terhadap 40 sekolah sebagai sampel penelitian. Setidaknya ada 440 orang yang diwawancarai untuk penelitian tersebut.
"Infiltrasi radikalisme di sekolah masuk melalui tiga pintu, yakni alumni, guru, dan kebijakan sekolah," begitu kalimat pertama pada sub-bab Kontestasi Radikalisme dan Moderatisme pada hasil penelitian yang tergabung ke dalam Ringkasan Eksekutif Program Convey Indonesia itu.
Di sana dijelaskan, untuk alumni, nilai-nilai radikalisme masuk melalui kegiatan ekstrakulikuler. Sebagai contoh, lima dari enam sekolah yang menjadi sampel penelitian di Surakarta dibina oleh alumni yang tergabung ke dalam Kriya Mandiri melalui aktivitas pengajian.
Celah kedua, yakni guru, mereka melakukan indoktrinasi di dalam dan di luar kelas. Salah seorang guru di Cirebon yang dijadikan bahan penelitian memahami, negara ini merupakan thagut. Hal itu kemudian disampaikan kepada para siswa di dalam kelas.
Selain itu, karena ketidaktahuan kepala sekolah, berdasarkan penelitian tersebut, kebijakan yang dikeluarkan sekolah kerap membuka lebar pintu bagi kelompok intoleran dan radikal untuk membina siswa dalam penguatan keagamaan.
Pada sub-bab Daya Tahan yang Rentan dijelaskan, kurangnya pemahaman dan kesadaran sekolah tentang peta perherakan radikalisme melemahkan mekanisme ketahanan warga sekolah dalam msnghadapi hal tersebut. Di sana disebutkan, hingga penelitian itu terbit, tak ditemukan kebijakan khusus dari sekolah untuk memproteksi diri dari penetrasi paham dan gerakan radikal.
Namun, disebutkan juga, ada beberapa sekolah sudah menjalankan mekanisme ketahanan melalui sistem filter dan kontrol narasumber. Selain itu, ada pula yang telah menerapkan sistem deteksi dini.
Sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengkritik sistem pendidikan dan sekolah di Indonesia yang tidak membangun kepekaan dalam menghadapi radikalisme. Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan, sistem pendidikan Indonesia tidak kritis dan tidak membangun ketajaman dalam berpikir.
Ia menyontohkan pelaku bom bunuh diri di Surabaya, Jawa Timur, Dita Supriyanto (47 tahun) saat duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA) sudah menunjukkan bibit radikalisme dengan tidak mau upacara, enggan hormat bendera. Namun, kata dia, sikap seperti itu dibiarkan pihak sekolah.
"Itu seharusnya tidak terjadi di sekolah. Andaikan ketika itu ada upaya inisiasi dari guru-gurunya melakukan pendekatan dan memperbaiki ideologi pelaku mungkin tidak akan terjadi bom ini," ujarnya, Selasa (15/5).
Dengan adanya momentum ini, ia berharap sekolah hingga guru harus memiliki upaya dan kepekaan-kepekaan untuk mencegah paham radikal. Ia menegaskan, pendidikan mestinya mengasah kepekaan itu.
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hamid Muhammad meminta agar Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tidak mengeneralisasi suatu kasus terkait radikalisme seolah-olah terjadi juga di semua sekolah. Karena tidak semua sekolah melakukan pembiaran seperti demikian.
Hal itu disampaikan sebagai respon atas kritikan KPAI yang menyebut sistem pendidikan dan sekolah di Indonesia yang tidak membangun kepekaan dalam menghadapi radikalisme. Sistem pendidikan Indonesia dinilai tidak kritis dan tidak membangun ketajaman dalam berpikir sehingga paham radikal bisa tumbuh.
"Sebagian besar kepsek dan guru sudah melakukan pembinaan siswa secara benar, sehingga sikap intoleransi di sekolah tidak berkembang," kata Hamid, Rabu (16/5).
Selain itu, dia juga menyesalkan atas statemen KPAI yang menyebutkan selama ini pelatihan guru tidak menyisipi pengetahuan terkait radikalisme. Sebab dalam pelatihan guru, kata Hamid, Kemendikbud tidak hanya tentang kurikulum saja. Namun banyak materi yang diintegarsikan seperti literasi, pengenalan soal bernalar tinggi atau High Order Thingking Skill (HOTS) termasuk masalah radikalisme.
"Jadi ya banyak materi yang diintegrasikan dalam pelatihan guru, seperti literasi, HOTS, dan penguatan pendidikan karakter, termasuk masalah radikalisme," tegas dia.