Selasa 14 Aug 2018 17:01 WIB

Melahirkan Generasi Cerdas Digital

Gerakan 18.20 jadi momentum untuk mempererat hubungan antar anggota keluarga.

Sesi berbagi cerita Relawan Keluarga Kita (Rangkul).
Foto: Dok Rangkul
Sesi berbagi cerita Relawan Keluarga Kita (Rangkul).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Achmad Syalaby Ichsan/Wartawan Republika.co.id

Sebagai salah satu komunitas keluarga di Indonesia, Relawan Keluarga Kita (Rangkul)  peduli terhadap literasi keluarga pada era milenial.  Tak jarang, relawan-relawan Rangkul melakukan sesi berbagi cerita  di tengah masyarakat dan institusi pendidikan. Temanya beragam dari Manajemen Emosi Diri, Mengenal Anak dengan Utuh, Panduan Kesepakatan Orang Tua dengan Anak hingga Teknik Komunikasi untuk Keluarga. 

Ada dua ribu relawan yang tidak henti melakukan sesi berbagi di Rangkul. Diantara beragam sesi yang diselenggarakan, Rangkul menyisipkan pentingnya menghadapi dunia digital. “Kita ada inisiatif untuk Cerdas Digital, “kata Manager Program Yayasan Rangkul Keluarga Kita Yulia Indrawati saat berbincang dengan Republika.co.id, Selasa (14/8).

Dalam sesi tersebut, Yulia mengungkapkan, Rangkul membahas bagaimana para orang tua menghadapi dunia digital saat ini. Menurut dia, lembaga pendidikan dan keluarga memiliki peran penting dalam tumbuh kembang anak. Tiap sesi sharing Rangkul diawali dengan menyadari pentingnya memiliki hubungan yang baik dengan anak. Khususnya bersikap sensitif dan responsif terhadap kebutuhan anak.

Menurut Yulia, hanya dengan hubungan yang kuat, berbagai hal dapat dihadapi termasuk dunia digital. Dia menjelaskan, keluarga harus memanfaatkannya secara positif. Orang tua harus membekali anak dengan ketrampilan mengontrol diri dan menghindari konten yang tidak aman. Mereka juga harus memiliki kesepakatan bersama tentang penggunaan gawai. 

Dia memisalkan, orang tua boleh mengetahui password gawai anak sehingga bisa dikontrol. Anak juga harus disiplin ketika menggunakan gawai. Mereka harus sepakat mengenai lama waktu menggunakan gawai sesuai dengan standar ideal. “Kesepakatan semacam itu termasuk kesepakatan bersama, dibuat bersama anak. Jadi bukan satu arah aturan dari orang tua, ”kata Yulia.

Sekolah dan orang tua

Rangkul didirikan Najeela Shihab sejak 2015 lalu. Komunitas Rangkul  memiliki cabang di 68 kabupaten/provinsi di Indonesia. Rangkul menggerakkan segenap elemen masyarakat seperti penggerak PKK, guru PAUD, hingga ibu rumah tangga.  Pada 2017,  ada 80 ribuan orang tua mu rid yang sudah pernah berbagi dalam Rangkul. Tak jarang mereka berkolaborasi dengan satuan pendidikan dari tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD), taman kanak-kanak hingga sekolah.

Ela, sapaan akrab Najeela menjelaskan, sekolah bersama guru dan orang tua memiliki tanggung jawab yang sama untuk menjadi pihak yang proaktif dalam pendidikan anak. Menurut dia, pihak sekolah harus paham bahwa orang tua yang terlibat adalah mereka yang merasa nyaman di lingkungan sekolah. Sebaliknya, orang tua harus sadar keterlibatan mereka akan sangat bermanfaat bagi perkembangan anak.

Ela menambahkan, pelibatan keluarga di sekolah adalah pemberdayaan orang tua. Mereka dituntut berperan aktif sebagai bentuk tanggung jawab kepada komunitas dan seluruh siswa, bukan hanya pada anaknya. Dia menegaskan, keterlibatan orang tua yang terbatas hanya pada anaknya saja sering kali belum tentu mendukung proses belajar dan misi serta tujuan sekolah. “Sejak awal sekolah harus punya misi dalam keterlibatan keluarga,”ujar dia.

Menurut dia, orang tua pun harus terus belajar untuk mendidik anak. Cara belajarnya yakni ke pada orang tua lain. Dia mengharapkan, dengan di bantu kurikulum yang mumpuni, pertemuan antara orang tua mu rid ini akan menjadi produktif.

Direktur Pembinaan Pendidikan Keluarga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)  Sukiman menjelaskan, pihaknya kerap mengundang partisipasi dan peran aktif keluarga untuk meningkatkan minat baca anak. Imbauan ini digagas dalam Gerakan Nasional Orang Tua Membacakan Buku.

Salah satunya adalah dengan pembiasaan di  rumah, di PAUD hingga lingkungan masyarakat. Gernas Baku dengan mengundang para orang tua, satuan PAUD, pendidik PAUD, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), hingga Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dan komunitas literasi.

Sukiman, mengatakan,  semua provinsi akan digerakkan untuk menumbuhkan minat baca anak. Meski demikian, Sukiman mengungkapkan, Gernas Baku adalah untuk membiasakan orang tua membacakan buku kepada anak-anak. Ia juga mengingatkan bahwa mengenalkan aksara atau buku untuk anak-anak tidak boleh memaksakan anak untuk bisa membaca sejak dini. Dia mengungkapkan, pengenalan aksara ke anak usia dini bisa melalui keaktifan orang tua dalam mengenalkan buku.

Gernas Baku diharapkan dapat membiasakan orang tua membacakan buku untuk anak, dan menumbuhkan minat baca anak-anak Indonesia. Sukiman mengungkapkan, gerakan ini bisa kembali mendekatkan keluarga agar anak-anak dan orang tua tidak sibuk dengan gawai masing-masing.

Terlebih, ujar Sukiman, pihaknya juga melakukan gerakan 18.20. Sebuah imbauan agar keluarga-keluarga di Indonesia mengistirahatkan gawainya setiap pukul 18.20. Momentum berharga ini, kata Sukiman, bisa dimanfaatkan untuk mempererat hubungan antar anggota keluarga. “Mereka bisa membacakan buku, shalat bersama atau ngobrol santai,”kata dia.

Tantangan dunia digital

Tak bisa dipungkiri, generasi millenial identik dengan internet. Hasil Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2017 menyebutkan, penetrasi internet terbesar ada pada kelompok usia 13-18 tahun. APJII mencatat dari 143,26  juta pengguna internet di Indonesia, kelompok usia muda memang mencapai lebih dari 75 persen.

Kedekatan mereka dengan gawai sebagai media pengakses internet pun rentan menimbulkan ketergantungan. Tak hanya itu, dampak negatif kerap menguntit para pengakses gadget tersebut. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mergungkapkan, banyak hal negatif sebagai dampak penyalahgunaan gawai oleh anak.  Dia mencontohkan, anak bisa terpapar pornografi, radikalisme, hingga mendapatkan pengaruh dari lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT).

Komisioner KPAI bidang Pornografi dan CyberCrime Margaret Aliyatul Maimunah menjelaskan, keterpaparan anak terhadap pornografi siber bahkan naik ke peringkat 3. “Tahun sebelumnya masih di peringkat 4,” ujar Margaret.

Hasil survey yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) bekerjasama dengan Katapedia, terdapat paparan pornografi terhadap anak sebanyak 63.066 melalui Google, Instagram dan news online lainnya. Sementara, data dari unit Cybercrime Bareskrim Polri pada 2017 ada 435.944 ip address yang mengupload dan mengunduh konten pornografi anak.

Tak hanya itu, ketergantungan anak terhadap gawai pun kian besar. Dia menyebut kasus yang terjadi di Jawa Timur pada awal Januari 2018 lalu menjadi salah satu contohnya.  Dua siswa SMP dan SMA kecanduan gawai dan laptop terindikasi mengalami gangguan jiwa. Mereka pun harus dirawat di Poli Jiwa RSUD dr Koesnadi Bondowoso, Jawa Timur.

Tingkat kecanduan mereka bahkan tergolong parah. Mereka sampai membenturkan kepalanya ke tembok ketika hendak menggunakan gawai. Margaret menjelaskan, kasus ini menjadi bukti jika gawai pun bisa membuat ketergantungan seperti narkoba. “Gadget itu bisa menimbulkan kecanduan akut,” kata dia.

Usai adanya kasus tersebut, Margaret mengungkapkan, KPAI sempat membuka layanan kecanduan gawai. Dia berharap para orang tua lebih waspada terhadap perilaku anak yang tampak sudah terlalu tergantung dengan gadget.

Meski demikian, Margaret mengungkapkan, layanan pengaduan tersebut kurang mendapat respon di masyarakat. Dia menduga rendahnya tingkat kesadaran orang tua terhadap perilaku anak pengguna gawai menjadi penyebab sepinya laporan tersebut. Margaret pun berharap jika program literasi kembali digalakkan sebagai solusi ketergantungan gawai. Literasi ini harus dimulai dari keluarga dan institusi pendidikan.

Beragam tantangan di dunia digital saat ini dinilai harus disikapi dengan bijak oleh orang tua. Najeela Shihab justru berpendapat banyak peluang mengembangkan anak pada masa depan. Dia mengaku, begitu banyak informasi di dunia digital.  Orang tua pun seringkali ketakutan anak-anak bisa mengalami ketergantungan dan terkena dampak negatif dunia digital.

Padahal, dia mengungkapkan, anak bisa belajar dari banyak sumber informasi pada era ini jika cerdas digital.  Dengan syarat, orang tua memberi pelajaran Menurut Ela, anak-anak cerdas digital bisa melatih kemampuannya untuk kritis. Mereka tidak mudah menyebar apa yang dia tonton dan apa yang dia baca sebelum meneliti. Mereka bukan cuma pembaca koran tapi menuangkan gagasan. “Mereka juga tak cuma menonton video tapi berkreasi,”kata dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement