REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Indonesia dinilai perlu melakukan perubahan di sektor pendidikan pada era revolusi industri 4.0 saat ini. Hal itu disebabkan sumber daya manusia yang dibutuhkan di masa depan sudah tidak bisa dipenuhi lagi oleh sekolah-sekolah yang masih menerapkan metode pembelajaran analog.
"Anak-anak sekarang membutuhkan cara belajar yang sesuai dengan dunianya, yang saat ini sudah jauh berbeda dengan 10-20 tahun lalu," ujar anggota Komisi I DPR RI, Sukamta, saat 'Dialog Publik: Tantangan SDM Menghadapi Disrupsi pada Era Revolusi Digital dalam rangka Redesain USO' di Yogyakarta, Jumat (23/11).
Sukamta memaparkan hal itu di hadapan ratusan peserta yang terdiri dari para guru, pengusaha, komunitas difabel, dan masyarakat umum. Menurut Sukamta, sebuah perubahan yang revolusioner perlu dilakukan jika tidak ingin pendidikan di Indonesia tertinggal dari negara-negara lain.
Ia mencontohkan, zaman orang tua dahulu mayoritas lulusan perguruan tinggi masih banyak yang tertarik menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sedangkan anak-anak muda sekarang banyak yang sudah tidak tertarik meskipun diiming-imingi jaminan pensiun di hari tua.
"Anak-anak muda sekarang sudah punya mindset yang berbeda. Mereka berpikir lebih praktis dan lebih bersifat jangka pendek. Urusan hari tua menjadi urusan nanti," kata politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut.
Pemerintah, kata dia, harus memikirkan secara serius permasalahan pendidikan di era disrupsi ini. Soal kurikulum, pendidikan guru, hingga standar kompetensi kerja.
"Jangan sampai ada gap antara standar kompetensi dengan dunia pendidikan kita. Yang selama ini terjadi kan lulus kuliah masih harus kursus lagi untuk mencapai standar kompetensi tersebut," tutur Sukamta.
Saat ini, mau tidak mau bidang Artificial Intelligence (AI) sudah harus dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah-sekolah menengah. "Arus digital ini memang sudah tidak mungkin dibendung lagi. Pilihannya sekarang adalah berubah atau mati," kata Sukamta.
Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal, mengatakan untuk mengubah sistem pendidikan di Indonesia pertama-pertama yang perlu diubah adalah paradigma berpikirnya (mindset). "Paradigmanya harus diubah dari paradigma standardisasi ke paradigma personalisasi," kata Rizal, kepada Republika.
Yang jadi masalah, di Indonesia saat ini kurikulumnya berbasis kompetensi tetapi cara penilaiannya masih berbasis standardisasi. "Jadi tidak 'nyambung' dan urung membuahkan hasil," ujarnya.
Rizal mengungkapkan di masa depan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan kompetensi teknis tidak menjadi skill yang terlalu banyak dibutuhkan dunia industri. "Yang dibutuhkan bukan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan melainkan kemampuan bernalar agar pengetahuan yang luber di internet bisa diolah menjadi nilai tambah," katanya.
Berdasarkan data yang dikeluarkan World Economic Forum baru-baru ini, skill yang paling penting bagi dunia industri di masa depan adalah kemampuan memecahkan persoalan yang rumit (complex problem solving), kemampuan berkomunikasi, kemampuan berpikir analitis (critical thinking), dan kemampuan membuat keputusan strategis (decision making).
"Untuk mewujudkan generasi yang memiliki skill seperti itu dibutuhkan ekosistem sekolah yang menyenangkan, nyaman, aman, suportif, serta memanusiakan," ujar dosen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi Universitas Gadjah Mada itu.