REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -– Penerapan penerimaan siswa secara otomatis sesuai wilayah (sistem zonasi) belum dapat diterapkan secara merata. Pasalnya, tingkat mutu sekolah di beberapa daerah belum seragam sehingga hal itu dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan baru.
“Mutu sekolah bisa dilihat dari akreditasi, kualitas guru, hingga kualitas materi yang ditawarkan sekolah. Saat ini, mutu sekolah belum ditingkatkan secara merata di masing-masing daerah,” kata Ketua Umum Jaringan Sekolah Islam Terpadu, Sukro Muhab, saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (12/12).
Menurut Sukro, sistem zonasi dapat dilihat menguntungkan bagi daerah tertentu yang standar mutu sekolahnya sudah merata. Tapi bagi daerah-daerah yang tidak memiliki standar mutu sekolah secara merata, sistem zonasi hanya akan menimbulkan kecemburuan sosial bagi orang tua siswa.
Pasalnya, Sukro menjelaskan, masih terdapat sejumlah daerah yang tidak memiliki sekolah favorit atau sekolah swasta yang memilili keunikan tersendiri yang ditawarkan. Sedangkan, banyak dari orang tua siswa yang mempertimbangkan standar mutu sekolah sebagai parameter untuk memasukkan anaknya ke sekolah tersebut. “Nanti yang ada, orangtua seperti dipaksa memasukkan anaknya ke sekolah yang tidak mereka inginkan hanya karena alasan jarak,” kata dia.
Menurut Sukro, sistem zonasi memang lebih efektif dari beberapa sisi. Antara lain mempermudah jarak lingkungan sekolah dengan siswa, mencegah terjadinya penumpukan guru berkualitas di suatu sekolah, hingga dipercaya dapat menghilangkan eksklusivitas yang ada. Namun, ia berpendapat, itu bukan hal yang dapat memecahkan masalah kualitas sekolah.
Adanya penerapan sistem zonasi dengan standar mutu sekolah yang belum merata justru rawan menimbulkan permasalahan baru seperti pemalsuan KTP, kartu keluarga, hingga praktik-praktik suap agar siswa yang bersangkutan tidak disekolahkan di wilayah zonasinya. “Kami dari swasta sangat keberatan dengan adanya sistem ini. Jika pemerintah mau menerapkan sistem ini, ada baiknya catatan-catatan dan kendala yang ada harus diperhatikan juga,” ujar Sukro.
Meski begitu, kata Sukro, pihaknya mengaku ikut menjalankan peraturan tersebut secara bertahap. Untuk sekolah swasta yang memiliki keunikan dan membiayai diri sendiri, ia menyebut menerapkan sistem zonasi dengan persentase tertentu dalam mengakomodasi peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan (permendikbud).
Menurut Sukro, mempertimbangkan penerapan sistem zonasi melalui persentase kuota siswa merupakan upaya menyeleksi siswa dan menghargai keinginan orang tua siswa di luar wilayah yang berminat dengan sekolah swasta tertentu. “Yang terpenting kami harus tahu motivasi orang tua itu seperti apa sehingga mau menyekolahkan anaknya ke sekolah kami,” ujarnya.
Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Bogor Fakhrudin, menyatakan, standar mutu sekolah di Kota Bogor masih belum merata. Maka penerapan penerimaan siswa sistem zonasi masih menggunakan tes seleksi dengan mengacu ke beberapa acuan. “Acuan kami itu adalah bobot zonasi diperbesar, mempertimbangkan prestasi siswa, dan melihat juga kondisi daya tampung sekolah di suatu zona atau wilayah yang ada,” kata dia.
Fakhrudin menjelaskan, saat ini Disdik Kota Bogor masih terus berupaya menaikkan zonasi di seluruh wilayah Kota Bogor dari zonasi yang telah ditentukan tahun lalu. Terkait jumlah zonasi yang akan dinaikkan, hal tersebut masih belum dapat diungkapkan ke publik karena harus dibicarakan dahulu oleh para pemangku jabatan.
Fakhrudin melanjutkan, sistem zonasi yang sesuai dengan permindikbud tersebut untuk sementara hanya diprioritaskan kepada sekolah-sekolah negeri. Hal itu karena peminat sekolah negeri masih lebih tinggi dibanding sekolah swasta. “Kalau swasta kan sudah melakukan seleksi penerimaan siswa baru belakangan ini. Itu (penerimaan siswa) kami persilakan, tidak masalah,” ujarnya menjelaskan.