REPUBLIKA.CO.ID, Tak jarang menemukan anak-anak sekolah yang begitu sulit untuk mengikuti kegiatan belajar-mengajar. Mereka seakan menganggap sekolah sebagai tempat yang membosankan.
Dosen Universitas Gajah Mada (UGM), Novi Poespita Candra bersama suami, Muhammad Nur Rizal melihat fenomena tersebut sebagai hal yang perlu dicarikan jalan keluarnya. Apalagi kondisi ini juga sempat dialami oleh anak pertamanya saat mengenyam pendidikan tingkat satu Sekolah Dasar (SD) di Indonesia.
"Dulu pas kelas satu (SD), mau ikut latihan biola saja takut karena (guru) galak. Kalau libur sekolah senang, karena memang malas ke sekolah," ujar Novi saat ditemui Republika.co.id di sela-sela pemberian pelatihan guru-guru di Pondok Pesantren (Ponpes), Tebuireng, Jombang, Kamis (20/12).
Kemalasan dan keengganan sang anak ternyata berubah drastis ketika suami membawanya ke Australia untuk kuliah. Apalagi sang anak dikenal tak mampu berbicara bahasa Inggris dan tidak memiliki teman sama sekali saat dipindahkan ke "Negeri Kangguru" tersebut. Perubahan itu langsung terasa selama enam bulan dimana sang anak mulai menjadi siswa di sekolah dasar Australia.
Novi yang kala itu masih berada di Indonesia selalu mendengar cerita bahwa anak pertamanya acap terlihat bahagia setiap sekolah. Seakan ada rasa semangat yang tinggi sehingga tidak pernah terlihat lelah maupun stress seperti sebelumnya. Situasi-situasi ini jelas membuat Novi penasaran sampai akhirnya dia tiba di Australia pada 2010.
"Terus sekitar enam bulan lebih selanjutnya, saya menyusul ke Australia setelah mendapat beasiswa di 2010. Saya bawa dua anak saya yang lain ke Melbourne," ujar perempuan berusia 44 tahun ini.
Di masa-masa mengenyam kuliah, Novi kebetulan mendapatkan tugas riset yang tak jauh dari dunia anak-anak. Ia mendapatkan tugas meneliti tentang pendidikan dan kesehatan mental anak. Karena tugas ini, dia pun sering mendatangi sekolah-sekolah yang berada di Australia.
Karena rasa penasaran, Novi mulai mencari tahu alasan mengapa anak-anak Australia dapat menikmati kegiatan di sekolah dengan begitu bahagia. Tidak hanya berintelektual tinggi, sekolah di sana juga berhasil menumbuhkan karakter berkualitas.
Rasa ingin tahunya ini diawali dengan mengumpulkan data dari siswa, guru dan para orangtua di sejumlah sekolah. "Saya tanya ke mereka 'apa yang membuat mereka happy ke sekolah?'. Nah, dari pendapat yang dikemukakan mereka inilah dijadikan modal dasar munculnya Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM)," tegasnya.
Menurut Novi, kunci sekolah di Australia pada dasarnya berusaha memanusiakan anak dengan melibatkan mereka sebaik mungkin. Selain itu, menciptakan ekosistem yang berkualitas sehingga dapat menumbuhkan karakter dari lingkungan pembelajarannya. Tak lupa juga terkoneksi dengan pilar-pilar lain, seperti keluarga, lingkungan dan sebagainya.
"Intinya harus membuat sekolah menjadi tempat menyenangkan. Harus mengubah ekosistem di sekolah," jelasnya.
Setelah mengumpulkan data dengan mencari berbagai pendapat, Novi melihat bagaimana praktik pengajaran di Australia. Pesan dan hasil pengamatan ini kemudian ditulis di media sosial (medsos) yang langsung mendapatkan respon positif dari warganet. Tak lama setelah itu, ia bersama suami mulai mencoba meluncurkan GSM meski baru berupa tulisan dalam helaian kertas di 2014.
"Sebelumnya kami memang menulis buku sekitaran 2014 sampai 2015 tentang praktik mengajar yang baik di Australia. Kemudian kita seriusi, pulang dari sana di 2016 langsung ke sekolah-sekolah," tambah dia.