REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai, pemerintah perlu merancang sistem pengajuan Kartu Indonesia Pintar yang lebih transparan dan skema yang jelas. Karena pengajuan KIP dinilai belum transparan dan birokrasinya masih berbelit.
“Skema pengajuan KIP itu tidak jelas. Tidak seperti mengajukan BPJS misalnya, jelas tahapan pertamanya apa, ke mana kita ajukan, ke siapa kita minta rekomendasi dan lainnya. Nah KIP ini tidak jelas,” kata Ubaid saat dihubungi Republika, Kamis (10/1).
Menurut dia, seharusnya skema pengajuan KIP lebih dipermudah. Misalnya dibuatkan pendaftaran secara daring, bisa diakses oleh siswa langsung, dan langsung tersambung ke pusat. Untuk kemudian pemerintah pusat melakukan validasi langsung, apakah siswa tersebut berhak atau tidak mendapatkan KIP.
Dia mengungkapkan beberapa kerancuan kan ketidakjelasan dalam proses pengajuan KIP. Menurut Ubaid, JPPI pernah menemukan beberapa sekolah yang sebenarnya tidak pernah mengajukan KIP, namun tiba-tiba pihak sekolah menerima data dari pusat bahwa ada siswanya yang berhak menerima KIP. Hal ini, kata Ubaid, tentu menimbulkan pertanyaan besar.
“Lalu pernah juga ada sekolah yang mengajukan beberapa siswanya, tapi tidak diterima semua. Dan alasannya tidak kuat, karena validasinya lemah. Jadi ya timbul lah protes dari orang tua siswa,” jelas Ubaid.
Selain itu, Ubaid juga menemukan fakta bahwa di sekolah-sekolah swasta di kawasan Jabodetabek masih banyak siswa miskin yang tidak mengetahui program KIP. Parahnya, pihak sekolah juga tidak mengetahui bagaimana cara mengajukan KIP bagi siswanya.
Untuk itu dia menilai, pemerintah harus terus menggencarkan sosialisasi tentang KIP. Karena KIP ini diperuntukkan bagi semua siswa miskin yang bersekolah di negeri maupun swasta.
Diketahui, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy memastikan, SKTM tidak akan berlaku lagi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2019/2020. Adapun untuk afirmasi peserta didik yang kurang mampu, lanjut dia, cukup dari penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP).
“Kita sudah pastikan (PPDB tahun 2019) tidak ada SKTM. Jadi afirmasi siswa kurang mampu sumbernya cukup dari penerima KIP,” kata Muhadjir.
Dia menjelaskan, peniadaan SKTM tersebut lantaran mempertimbangkan kasus-kasus pemalsuan SKTM yang marak terjadi pada PPDB tahun sebelumnya. Kebijakan ini juga sebagai salah satu upaya pemerintah untuk menjamin pendidikan peserta didik penerima KIP bisa berkelanjutan.
Selain KIP, menurut Muhadjir, keluarga penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dan siswa yang direkomendasikan sekolah juga bisa menjadi syarat afirmasi bagi siswa tidak mampu untuk melanjutkan sekolah.