REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan bahwa penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) mengacu pada data fakir miskin yang ditetapkan oleh Kementerian sosial (Kemensos). Jadi program KIP tersebut bukanlah program yang berdiri sendiri.
“Data penerima KIP itu berdasarkan data fakir miskin yang ditetapkan oleh Kemensos. Jadi bukan program yang berdiri sendiri yang datanya bisa dikumpulkan sendiri,” kata Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud Hamid Muhammad Hamid Muhammad saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (10/1).
Menurut Hamid, usulan agar siswa bisa mengajukan KIP secara personal juga cukup sulit untuk diimplementasikan. Karena tidak ada yang bisa melakukan validasi.
“Kalau siswa bisa mengajukan sendiri via online, siapa yang memvalidasi bahwa siswa tersebut betul-betul miskin?” ungkap dia.
Sebelumnya, Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai, pemerintah perlu merancang sistem pengajuan KIP yang lebih transparan dan skema yang jelas. Karena pengajuan KIP dinilai belum transparan dan birokrasinya masih berbelit.
“Skema pengajuan KIP itu tidak jelas. Tidak seperti mengajukan BPJS misalnya, jelas tahapan pertamanya apa, ke mana kita ajukan, ke siapa kita minta rekomendasi dan lainnya. Nah KIP ini tidak jelas,” kata Ubaid.
Menurut dia, seharusnya skema pengajuan KIP lebih dipermudah. Misalnya dibuatkan pendaftaran secara daring, bisa diakses oleh siswa langsung, dan langsung tersambung ke pusat. Untuk kemudian pemerintah pusat melakukan validasi langsung, apakah siswa tersebut berhak atau tidak mendapatkan KIP.