Rabu 16 Jan 2019 19:04 WIB

Pengamat: Payung Hukum PPDB tak Memiliki Power

Payung hukum PPDB tak cukup kuat menuntut pemerintah daerah mematuhi.

Rep: Gumanti Awaliyah / Red: Ratna Puspita
Ilustrasi PPDB sistem zonasi.
Foto: Republika/Bowo Pribadi
Ilustrasi PPDB sistem zonasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat pendidikan sekaligus Direktur Utama PT Eduspec Indonesia Indra Charismiadji memprediksi implementasi sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun 2019 tidak akan optimal. Menurut dia, payung hukum PPDB yang hanya berbentuk Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) tidak cukup kuat menuntut pemerintah daerah supaya mematuhinya.

Alhasil, Indra mengatakan, pada evaluasi PPDB tahun 2018, hampir 90 persen sekolah tidak menggunakan seleksi jarak. Selain itu, sekitar 80 persen sekolah menetapkan kuota zonasi, prestasi, dan perpindahan orang tua tidak sesuai dengan Permendikbud tentang PPDB.

“Karena, itu hanya permendikbud. Mana ada daerah yang mau ikutin. Coba itu Keppres atau Permendagri pasti daerah ikut semua. Ini bukti kalau Kemdikbud tidak ada power. Tidak heran kualitas pendidikan kita rendah,” kata Indra saat dihubungi Republika, Rabu (16/1).

Indra mengemukakan, hingga saat ini faktor politis di daerah masih sangat kental, begitupun dalam hal memasukkan anak ke sekolah-sekolah negeri. Faktor politis, kedekatan, kekeluargaan dan lainnya masih sangat berpengaruh. 

“Daerah itu faktor politisnya besar. Siapa yang bisa masuk sekolah negeri itu besar sekali politisnya. Tidak ada yang sadar kalau integritas mereka dihancurkan oleh diri sendiri,” ucap Indra.

Di sisi lain, Indra mengapresiasi penghapusan SKTM sebagai syarat afirmasi siswa tidak mampu dalam PPDB 2019. Kendati demikian, dia mendorong agar ada pengecekan dan akurasi data kembali terhadap siswa dan keluarga yang tidak mampu.

Sehingga, upaya pemerintah untuk menekan angka kemiskinan dengan jalan pendidikan, serta meningkatkan angka partisipasi murni (APM) bisa berbuah hasil. Jika tidak maka APM Indonesia akan tetap stagnan.

“APM kita cuma naik 1% di semua jenjang. Itu terjadi karena kebanyakan para siswa prasejahtera tidak diterima di sekolah negeri dan terpaksa masuk di swasta yang tidak mungkin gratis. Ini harus segera diperbaiki. Kalau bener-benar ada komitmen ya,” tegas dia.

Sebelumnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menuntut keseriusan pemerintah daerah (pemda) dalam mengimplementasikan 90 persen kuota penerimaan penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun ajaran 2019 berbasis zonasi. Sebab dari evaluasi PPDB tahun 2018, hampir 90 persen sekolah tidak menggunakan seleksi jarak. 

Mendikbud Muhadjir Effendy menyampaikan, belum lama ini pihaknya telah membuat nota kesepahaman dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait PPDB tersebut. Hal itu dilakukan dengan harapan, semua pemerintah daerah patuh pada ketetapan PPDB zonasi telah diatur dalam Permendikbud Nomor 51 tahun 2018 tentang PPDB tahun 2019.

“Kami sudah melakukan MoU dengan Kemendagri, tinggal tindaklanjutnya,” kata Muhadjir.  

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement