REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdasar evaluasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun 2018, hampir 90 persen sekolah tidak menggunakan seleksi jarak. Hal itu disinyalir karena tidak ada keseriusan pemerintah daerah (pemda) dalam menegakkan sistem zonasi pada PPDB.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik menilai, pendekatan yang simetris kurang tepat diterapkan di Indonesia. Mengingat, setiap daerah memiliki kondisi otonom yang berbeda-beda.
"Kondisi daerah-daerah otonom di Indonesia ini berbeda-beda. Karenanya pendekatan regulasi yang simetris tentu juga kurang tepat. Misalnya, kondisi di Jakarta dengan Bali apalagi Papua jelas berbeda kan," kata Akmal saat dihubungi Republika, Kamis (17/1).
Karena itu menurut dia, dalam masalah apapun termasuk PPDB, regulasinya harus disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik masing-masing daerah. Regulasi tersebut bisa melalui peraturan daerah (perda) atau peraturan kepala daerah (perkada).
"Intinya kita perlu lebih bijaksana memaknai bahwa otonomi daerah itu memiliki kondisi yang tidak simetris," jelas dia.
Diketahui, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) secara resmi meluncurkan Permendikbud Nomor 51 tahun 2018 tentang penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun 2019. Tahun ini PPDB akan dilaksanakan melalui tiga jalur yaitu zonasi dengan kuota minimal 90 persen, prestasi dengan kuota maksimal 5 persen dan jalur perpindahan orang tua dengan kuota maksimal 5 persen.
Sementara untuk pembuatan petunjuk teknis (juknis) PPDB, akan diserahkan kepada pemerintah daerah dengan tetap berpedoman kepada Permendikbud tersebut. Pemda juga diminta keseriusannya mengimplementasikan 90 persen kuota penerimaan penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun ajaran 2019 berbasis zonasi. Sebab dari evaluasi PPDB tahun 2018 hampir 90 persen sekolah tidak menggunakan seleksi jarak.