REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat Pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Said Hamid menilai kebijakan pemerintah untuk mengintegrasikan Nomor Induk Siswa Nasional (NISN) menjadi Nomor Induk Kependudukan (NIK) tidak tepat. Menurut dia, NIK dimiliki oleh penduduk yang sekolah maupun tidak.
“Lebih baik kita gunakan NISN karena itu tanda kenal dia sebagai siswa. NIK dimiliki penduduk yang bersekolah dan tidak bersekolah,” kata Said saat dihubungi, Selasa (22/1).
Said juga memprediksi secara teknis pengintegrasian NIK akan cukup sulit direalisasikan. Hal itu karena, NIK hanya dimiliki oleh penduduk yang sudah mempunyai KTP, sedangkan siswa lulusan SD dan SMP belum memiliki KTP.
Di sisi lain, dia juga mengkritisi kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan yang sering berubah-ubah. Sistem pendidikan yang berubah-ubah dan tidak konsisten dinilai tidak efektif meningkatkan mutu pendidikan Indonesia.
“Sistem jadi tidak jalan dan tidak ada jaminan berlanjut dan negara mengeluarkan banyak uang sia-sia untuk suatu kebijakan,” ungkap dia.
Mulai tahun ajaran 2019/2020 pemerintah akan mengintegrasikan Nomor Induk Siswa Nasional (NISN) menjadi Nomor Induk Kependudukan (NIK). Pengintegrasian data tersebut bertujuan untuk mendukung program wajib belajar 12 tahun dan penerimaan peserta didik baru (PPDB) sistem pendidikan lainnya yang berbasis zonasi.
Integrasi data dari NISN menjadi NIK tercantum dalam nota kesepahaman antara Kemendikbud dan Kementerian Dalam Negeri yang telah ditandatangani beberapa waktu lalu.
“Hari ini kami memastikan bahwa MoU itu jalan di lapangan dan yang paling penting, nanti itu seluruh siswa itu tidak lagi memakai NISN cukup dengan NIK karena kita akan mengintegrasikan antara data pokok pendidikan (dapodik) dan data kependudukan dan pencatatan sipil,” kata Muhadjir usai menerima kunjungan Dirjen Dukcapil Kemendagri di Jakarta, Selasa (22/1).
Baca: Pemerintah akan Ubah Nomor Induk Siswa Menjadi NIK