Rabu 13 Feb 2019 15:59 WIB

'Kasus Kekerasan Terhadap Guru Kesalahan Sistemis'

Pendidikan di Indonesia minim melatih regulasi pikir dan kendali emosi.

Siswa di Gresik persekusi gurunya karena melarang merokok saat jam belajar.
Foto: Youtube
Siswa di Gresik persekusi gurunya karena melarang merokok saat jam belajar.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Baru-baru ini peristiwa murid mencekik guru di Gresik, Jawa Timur, menjadi sangat viral di media sosial. Meskipun kedua belah pihak sudah didamaikan dan sang murid sudah meminta maaf secara langsung kepada sang guru, kejadian ini terlanjur mencoreng wajah pendidikan di Tanah Air.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, mengungkapkan peristiwa seperti itu tidak seharusnya terjadi. Guru yang bersangkutan seharusnya melakukan introspeksi diri supaya tampil lebih berwibawa di depan murid-muridnya. Sementara ia menyebut perilaku sang murid sebagai pelanggaran berat yang tak boleh dilakukan.

Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Novi Candra, mengaku tak sependapat dengan Muhadjir. Menurut dia, kasus kekerasan yang terjadi di sekolah tidak boleh dipandang sebagai sebuah kasus semata, melainkan juga harus dilihat sebagai kesalahan sistem pendidikan.

"Selama sistem pendidikan masih melihat kesuksesan pendidikan adalah (nilai) akademik maka kekerasan yang terjadi di sekolah akan dilihat sebagai kasus, bukan kesalahan bersama secara sistemis yang mestinya membuat pemerintah introspeksi," kata Novi kepada Republika, Selasa (12/2).

Secara khusus, Novi melihat kasus kekerasan yang terjadi adalah akibat minimnya pendidikan di Indonesia melatih regulasi pikir dan kendali emosi.  Anak-anak cenderung dilatih serba-instan melalui pendidikan yang berbasis nilai. "Mereka tidak biarkan melakukan eksplorasi-eksplorasi dan refleksi diri," kata Novi.

Selain itu, anak-anak juga cenderung kurang dihargai dan diberi apresiasi saat berada di sekolah. "Ketika tidak pernah dihargai maka mereka pun akhirnya tidak bisa menghargai dan mengapresiasi (orang lain)," katanya.

Menurut dia, mengutip sebuah teori ekologi Bronfenbrenner, perilaku anak-anak seperti itu dipengaruhi oleh banyak sistem. "Sistem terdekat bagi siswa yaitu ekosistem sekolah dan keluarga, kemudian lebih luas sistem masyarakat, kebijakan, media sosial, dan budaya. Jadi tidak hanya faktor guru," tuturnya.

Hal itu diamini pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal, yang mengatakan pendidikan di Indonesia tidak berorientasi pada manusia, melainkan terlalu fokus pada pencapaian nilai akademik serta kepatuhan pada standarisasi dokumen.

"Maraknya kenakalan remaja pada guru semakin menguat karena faktor media sosial yang mudah menyebarkan pelanggaran tersebut. Sehingga secara paradoks bagi siswa yang sudah bermasalah menjadi lebih berani melakukan bullying pada gurunya. Apalagi jika masyarakat permisif dan karena alasan HAM hukuman bagi siswa pelanggar tidak membuat mereka malu dan jera," ujarnya.

Menurut Rizal, viralnya video kekerasan seharusnya direspons proaktif oleh regulasi hukum untuk menguatkan komitmen sosial yang diikuti secara menyeluruh serta mendorong pemerintah (Kemendikbud) untuk mendorong paradigma pendidikan baru yang lebih berpusat pada manusia. 

"Harapannya pendidikan karakter menjadi tolak ukur kesuksesan sekolah, bukan nilai UN atau akademik. Paradigma baru tersebut akan mendorong perubahan ekosistem sekolah yang positif dan membangun empati serta pembelajaran yang menguatkan kemampuan murid memiliki kendali diri dan kendali emosi. Sehingga mampu membangun pribadi siswa yang mandiri dan tahan banting," kata dosen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi UGM itu.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement