REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Bukti bahwa Pancasila telah menyatukan bangsa Indonesia yang besar, beragam suku, budaya, etnis dan agama merupakan suatu hal yang wajib disyukuri. Namun menanamkan kembali Pancasila melalui mata pelajaran dikhawatirkan akan sekedar menjadi slogan atau bahkan indoktrinasi baru yang akan gagal buat generasi milenial di Indonesia.
"Alih-alih mereka menginternalisasi Pancasila, justru menghindarinya dan mencari atau menemukan paham lain yang asing namun dipercayai lebih sesuai dengan kebutuhan mereka," kata pemerhati pendidikan, Muhammad Nur Rizal, Jumat (22/2).
Data survei terbaru Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menunjukkan sudah terpaparnya paham intoleransi dan radikalisme kepada guru dan mahasiswa. Sebanyak 50 persen guru memiliki opini yang intoleran dan 46,09 persen beropini radikal. Sedangkan pada mahasiswa, sebanyak 52,1 persen beropini intoleran terhadap minoritas Muslim, 34,3 persen intoleran terhadap agama lain, dan 58,5 beropini radikal.
Survei ini menjelaskan bahwa faktor pertemanan serta intensitas sebaran hoaks berpengaruh besar pada derasnya wabah paham negatif ini, sehingga diperlukan upaya luar biasa untuk menahan derasnya penyebaran.
"Meneguhkan kembali Pancasila sebagai watak dan jati diri orang Indonesia di era internet global perlu hadir dengan cara-cara baru yang kekinian yang melibatkan milenial. Mendengarkan suara mereka tidak hanya melalui seminar atau di ruang kelas, melainkan melalui karya nyata yang dirasakan di kehidupan sehari-hari," kata pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan ini.
Menurut Rizal, nilai Pancasila akan lebih mudah dicerna ketika disajikan dalam bentuk film, musik, video pendek, vlog youtube daripada pelajaran klasikal oleh guru dengan metode kuno (lama). Mereka akan belajar sejarah perjuangan serta nilai-nilai kemanusiaan yang lintas batas agama, etnis budaya dan suku atau berani memperjuangkan keadilan meski berbeda serta harus menghadapi banyak rintangan sebagai wujud nyata berketuhanan di dunia.
Contoh lain, praktek Pancasila yang akan digandrungi anak muda adalah mendorong kreasi anak muda di sekolah-sekolah kejuruan, vokasi atau kampus untuk mengembangkan Apps (teknologi internet dan Big Data) yang dapat mengurangi kesenjangan ekonomi sekaligus meningkatkan ekonomi kerakyatan. Caranya, pemerintah bekerja sama dengan dunia kampus dan industri membangun regulasi dan ekosistem inkubator lahirnya beragam market place di desa-desa atau urban dan pinggiran. Tujuan Apps untuk menjual hasil karya seni, industri rumah tangga, pertanian hingga potrnsi wisata secara daring agar mudah diakses masyarakat luas.
"Cara ini dapat memacu adrenalin anak muda milenial untuk menghadapi tantangan globalisasi sekaligus bagaimana mengangkat nilai-nilai lokal dan kesejahteraan rakyat. Karakter yang sejalan dengan nilai Pancasila sekaligus membangun mental pemenang berdaya saing," katanya.
Aksi atau praktek nyata itu yang lebih dibutuhkan sebagai metode pembelajaran baru yang relevan dengan anak muda. Tidak mendikte atau menggurui, melainkan memperkaya khazanah pemikiran mereka. Sehingga mereka akan menempatkan Pancasila sebagai payung moral, payung kultural yang telah dan terus ditanamkan dengan nyata.
Untuk itu, kata dia, ekosistem atau lingkungan sekolah perlu dibangun ulang agar menjadi tempat menyenangkan bagi tumbuh suburnya rasa empati untuk memahami perasaan orang lain dengan jujur, mengapresiasi satu sama lain tanpa pamrih. Ekosistem ini justru akan mempererat kerjasama diatas perbedaan (gotong royong), dan menjauhkan Pancasila sebagai alat pembatas" untuk menilai tingkat kebinekaan murid karena latar belakangnya. Guru tidak memakai Pancasila sebagai alat ukuran moral bagi murid yang penurut atau kritis.
"Lebih luas, Pancasila tidak akan dijadikan alat politik untuk membungkam lawan, melainkan payung moral yang lentur dan fleksibel bagi setiap jiwa atau warganya sehingga mereka akan menatap Indonesia, Dunia dan Masa Depan dengan penuh optimisme dan kreativitas," kata dosen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi itu.
Sebelumnya, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) memastikan akan meulai menerapkan mata pelajaran Pancasila mulai tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPIP Hariyono mengklaim sudah berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) terkait mata pelajaran Pancasila bagi siswa SD, SMP, dan SMA, serta mata kuliah bagi mahasiswa.
"Pancasila akan dijadikan mata kuliah dan pelajaran yang wajib, tetapi materinya disampaikan secara kontekstual, bukan teks-teks kognitif berupa hafalan di kepala," kata Hariyono.
Sementara, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) akan menyesuaikan isi materi mata kuliah Pancasila dengan karakteristik milenial. Kendati demikian, secara teknis Kemenristekdikti masih akan mengkoordinasikan dengan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). “Kalau yang bersama dengan BPIP kami masih tunggu pertemuan bersama untuk diskusi lebih teknis,” kata Ismunandar pekan lalu.
Menurut dia, pembaruan mata kuliah Pancasila itu bukan hanya dari segi materi saja, tetapi juga hal metode pembelajaran oleh dosen. Ismunandar mengatakan jika hal teknis sudah dirumuskan, maka Kemenristekdikti akan menyosialisasikan pembaruan tersebut kepada para dosen.