REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Wacana penerapan olahraga elektronik (e-sport) dalam kurikulum pendidikan, mendapat kritikan dari berbagai pihak. Penerapan ini dianggap masih membutuhkan kajian yang lebih mendalam.
Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal mengatakan, e-sport ini lebih baik diterapkan di pendidikan tinggi vokasi. Namun, tidak cocok untuk diterapkan di pendidikan dasar.
Alasannya, di perguruan tinggi kesiapan infrastruktur hingga kapasitas kemampuan baik mahasiswa maupun tenaga pendidik sudah siap. Bahkan, memungkinkan untuk mengikuti perkembangan zaman.
"Di pendidikan vokasi, mahasiswa itu jauh lebih dewasa memiliki kemampuan rekfleksi dan lebih independen untuk menalar dan tahu batasan menggunakan e-sport," kata Rizal kepada Republika, Rabu (13/3).
Sementara, penerapan e-sport untuk pendidikan dasar masih membutuhkan kajian. Baik kajian teknis dan infrastruktur, kajian filosofi hingga kesiapan infrastruktur dan keterampilan tenaga pendidik.
Menurutnya, tidak semua sekolah yang siap akan infrastruktur penunjang e-sport ini. Sementara, e-sport ini merupakan kurikulum nasional dan tidak semua pendidikan rata di seluruh sekolah di Indonesia.
"Itu justru malah membuat gap atau disparitas cukup lebar antara sekolah dipinggiran dengan sekolah di kota. Kesannya (e-sport) ini hanya untuk anak-anak sekolah di kota dan orang kaya," ujar Rizal.
Selain itu, secara filosofi anak-anak harus diperbanyak olahraga fisik. Sementara, e-sport ini akan meminimalisasi aktivitas anak dalam berolahraga.
"Jumlah gerakan anak di sekolah minim, itu bahaya. Efeknya terhadap kesehatan dan pengembangan otak," lanjutnya.
Dalam keterampilan guru pun, lanjutnya, juga harus menjadi pertimbangan sebelum menerapkan wacana ini. Sebab, tidak semua guru di setiap sekolah di Indonesia yang memiliki kemampuan akan e-sport ini.
"Kemampuan guru dalam mendampingi, penguasan teknologi guru juga perlu bimbingan dan pengembangan," tambahnya.
Ia pun tidak mempermasalahkan e-sport ini diterapkan di sekolah. Namun, konteksnya tidak dalam kurikulum, tetapi hanya dimasukkan dalam kegiatan ekstrakurikuler.
"Kalau itu dimasukkan ke kegitan ekstrakurikuler, itu bagus dari pada bermain gadget sembarangan dan tanpa tujuan. Jadi sekolah bisa mengarahkan lewat e-sport ada refleksi dan ada strategi di sana," katanya.