REPUBLIKA.CO.ID, Di tengah maraknya film layar lebar juga vlog-vlog artis, ternyata sinetron masih menjadi favorit banyak pemirsa televisi. Terutama di daerah pelosok yang terbatas aksesnya terhadap bioskop juga internet. Seperti di Dusun Nunusan, salah satu desa di Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau.
Demam sinetron melanda masyarakat dari anak kecil hingga orang tua. Bahkan mereka menyaksikan sinetron secara beramai-ramai layaknya layar tancap. Karena terbatasnya aliran listrik di dusun ini, tidak semua rumah memiliki televisi. Hanya segelintir rumah yang memiliki mesin gensetlah yang bisa menikmati tayangan televisi.
Rumah-rumah itu akan menyalakan mesin gensetnya tiap selesai salat magrib. Kemudian warga dusun akan mulai berkumpul di rumah-rumah tersebut untuk menonton televisi. Seru sekali. Warga terlihat berhimpitan, saling tindih, bersenggolan hanya untuk menyaksikan sinetron favorit mereka.
Ada dua sinetron yang digandrungi masyarakat dusun ini, Azab dan Dzolim, keduanya disiarkan di dua stasiun TV swasta besar yang berbeda. Fenomena ini menarik bagi Oki Dwi Ramadian, Konsultan Relawan Sekolah Literasi Indonesia (Kawan SLI) yang ditempatkan di Dusun Nunusan.
Bagi Oki yang berasal dari Jakarta dan terbiasa dengan hiruk pikuk kota besar, nonton bareng (nobar) sinetron ini menjadi hal baru. Para siswa di SDN 004 Rantau Langsat, tempat Oki bertugas, juga turut dalam rombongan peserta nobar tersebut.
Kegemaran menyaksikan sinetron ini malah menjadi “senjata” bagi Oki untuk memantik siswanya agar berani berkisah di depan umum. Hal ini merupakan salah satu poin implementasi program Sekolah Literasi Indonesia (SLI).
SLI merupakan program yang digagas dan dijalankan oleh Dompet Dhuafa Pendidikan (DD Pendidikan) di 18 wilayah Indonesia, dengan penerima manfaat sebanyak 54 sekolah. SLI bertujuan untuk meningkatkan kualitas sekolah terutama pembelajaran di dalamnya dengan pendekatan literasi.
Agar implementasi program berjalan secara optimal dan sesuai perencanaan, pada setiap wilayah SLI, DD Pendidikan menempatkan seorang Kawan SLI. Oki dan 17 Kawan SLI lainnya bertugas selama satu tahun. Mereka telah ditempatkan di lokasi program sejak Agustus 2018.
Awalnya Oki mengalami kesulitan untuk mengaplikasikan kegiatan Siswa Berkisah. Kegiatan ini akan dilaksanakan pada setiap apel pagi di sekolah filial (kelas jauh) yang berada di dalam hutan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh itu. Siswa Berkisah sendiri merupakan implementasi dari hasil Diskusi Strategis Sekolah atau School Strategic Discussion (SSD), salah satu pendekatan dalam SLI.
Pada apel pagi kala itu, setelah memeriksa kerapihan, kesiapan, dan penyampaian nasihat, Oki pun mulai meminta siswa untuk berkisah. Tak satu pun siswa yang mengangkat tangan dan mengajukan diri. Padahal Oki dan para guru sudah memberikan kebebasan, kisah yang disampaikan boleh apa saja, pengalaman, dongeng, dan sebagainya.
“Saya juga sudah mencontohkan bagaimana kegiatan berkisah ini di kelas, namun belum ada yang berani maju saat apel pagi. Jadi ya sudah, kami putuskan untuk menyudahi kegiatan siswa berkisah hari itu dan kegiatan berjalan seperti biasa,” kenang Oki.
Saat senja datang, Oki dan para siswa SDN 004 Rantau Langsat Kelas Filial melaksanakan salat magrib berjamaah di surau. Seperti biasa, setelah salat Oki dan salah satu guru mengajari para siswa mengaji. Seperti biasa pula mereka berebut ingin mengaji duluan, bahkan terkadang sampai ada yang bertengkar. “Ternyata mereka ingin segera menyaksikan sinetron kesayangan mereka,” kisah Oki sambil tertawa.
Saat Oki bertanya sinetron itu menceritakan tentang apa, para siswa dengan lancar menceritakannya. Bahkan mereka juga piawai menirukan gerak-gerik pemainnya. Makin malam, anak-anak makin gelisah. Sinetron sudah mulai sementara masih ada yang menunggu giliran mengaji. “Melihat gelagat siswa yang seperti itu, saya malah jadi mendapatkan ide untuk kegiatan Siswa Berkisah,” kata Oki.
Esoknya saat apel pagi, Oki dan para guru pun mencoba kembali mengimplementasikan Siswa Berkisah. Salah satu Ibu Guru membuka dengan pertanyaan stimulus tentang sinetron yang diputar tadi malam, siapa saja yang menontonnya, dan siapa yang bisa menirukan tokoh dalam sinetron itu. Para siswa pun menirukannya dengan fasih dan penuh penjiwaan.
“Setelah itu saya beraksi. Saya bertanya pada anak-anak, ‘Siapa yang mau menceritakan sinetron Azab?’. Ternyata banyak yang mengacungkan tangan. Bahkan tanpa diminta mereka sudah berkisah saja di dalam barisannya,” ungkap Oki.
Keadaan seketika jadi bising seperti pasar. Ada yang berkisah dan ada yang menimpali, saling melengkapi dan mengonfirmasi kisah yang disampaikan.
“Saya antusias melihatnya. Kemampuan literasi siswa-siswa ini, khususnya berbicara, sangat terlihat. Lalu kami mencoba menenangkan suasana dan meminta satu saja siswa yang bersedia berkisah, sementara yang lain tenang menyimak,” kata Oki.
Dari praktik berkisah itu Oki dapat melihat bahwa siswa sulit menceritakan kisahnya secara runut. Mereka hanya memberitahukan bagian-bagian yang dirasa hebat dan menarik saja. Tidak hanya ingat jalan ceritanya, anak-anak pun ingat persis seperti apa dialognya dan bagaimana adegannya. Oki pun dapat menarik pelajaran berharga dari kegiatan ini.
“Ternyata siswa akan lebih tertarik untuk melakukan sebuah kegiatan jika dekat dengan keseharian mereka. Selain itu, guru perlu untuk menuntun dan mencontohkan cara berkisah yang tepat dimulai dari pengenalan, konflik, hingga akhir dari kisah itu seperti apa,” kata Oki.