Sabtu 13 Apr 2019 19:13 WIB

JISc Selenggarakan Debat Presiden Versi Bahasa Inggris

JISc dulunya adalah restoran tua yang disewakan untuk sekolah.

Jakarta Islamic School (JISc)  menyelenggarakan Debat Presiden versi bahasa Inggris yang kedua.
Foto: jisc
Jakarta Islamic School (JISc) menyelenggarakan Debat Presiden versi bahasa Inggris yang kedua.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jakarta Islamic School (JISc) menjawab perkembangan zaman melalui pendidikan dengan menyelenggarakan Debat Presiden versi bahasa Inggris yang kedua, Jumat (12/4). Debat Presiden ini sebagai ajang untuk meningkatkan kualitas softskill murid tingkat SMP dan SMA dalam keberanian, public speaking dan berbahasa Inggris.

Selain juga bertujuan untuk menguji pemahaman pengetahuan secara akademis melalui materi yang diperdebatkan. Materi yang diperdebatkan, yaitu terkait ilmu pengetahuan dalam bidang politik yang akan mengusung tema: Energy, Food, Infrastructure, Natural Resources, Environtment, Law, Politics, Economy, Social Issues, Education and Culture.

Fifi Proklawati Jubilea, pendiri sekolah ini dalam sambutan di acara tersebut bercerita tentang sejarah JISc 15 tahun lalu. Dulu hanya berupa restoran tua yang disewa untuk dibuat sekolahan. Dia teringat banyak murid JISc yang sudah sukses dan tersebar di luar negeri. "Memang betul dasar agama, thinking skills dan bahasa Inggris serta leadership skills itu bikin anak-anak ketika sudah dewasa jadi hebat-hebat dan mandiri tapi tetap beragama. Semuanya anak-anak produk kandang kebo. Ah, kalau orang tahu, owner JISc miskin nggak apa-apa yang penting kaya semangat dan kaya hati," kata dia.

Dia mengatakan, baru enam bulan, sekolah ini sempat akan diusir dari si empunya. Meja dan kursi dikeluarkan. Perlahan, sekolah ini mulai memiliki gedung sendiri. Sekarang ada total 11 gedung di beberapa cabang. Bahkan beberapa murid lulusan JISc juga tersebar di perguruan tinggi negeri di Indonesia.

Banyak orang menghina. Banyak juga yang penasaran. Akhirnya ada seorang wali murid bernama Galuh. Dia adalah orang pertama yangmem bayar DP 5,5 juta. Lalu diikuti yang lain. Ada 77 orang.

"Berawal dari modal nekad tapi sungguh-sungguh. Yang penting jangan bohongi orang. Rezeki Allah yang atur. Lalu semua anak harus disayang kayak anak sendiri. Semua guru diajarin dan harus terjun langsung. Mereka pakai bahasa Inggris yang modulnya dibuat sendiri. Alhasil, Syifa masuk sekolah di Australia nggak pakai tes dan tak ada kelas persamaan. Sedangkan Nabila juga diterima kerja di Washington DC sebagai wartawan (BBC VOA). Jadi wartawan kan juga karena bahasa Inggrisnya dari kecil di JISc," ucap dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement