Selasa 30 Apr 2019 11:38 WIB

Membaca Buku Demi Kemajuan Bangsa

Kemendikbud berupaya menghapuskan buta aksara dan meningkatkan minat baca anak.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Dwi Murdaningsih
Sejumlah anak membaca buku di perpustakaan keliling pada acara Festival Literasi 2019 di halaman Gedung Sate, Kota Bandung, Sabtu (20/4).
Foto: Abdan Syakura
Sejumlah anak membaca buku di perpustakaan keliling pada acara Festival Literasi 2019 di halaman Gedung Sate, Kota Bandung, Sabtu (20/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keluarga menjadi tempat yang paling tepat untuk meningkatkan literasi pada anak. Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (PAUD-Dimas) Harris Iskandar menyarankan orang tua membacakan buku pada anak secara intensif untuk meningkatkan minat baca.

Menurut dia, program membacakan buku pada anak wajib digiatkan kembali. Ia mencontohkan, di luar negeri ada program membacakan minimal seribu buku oleh orang tua pada anaknya sebelum masuk sekolah.

"Bacakan sebelum anak tidur, pagi hari. Ini resep buat kemajuan bangsa," katanya saat Panggung Publik dalam rangkaian peringatan Hari Pendidikan Nasional, Senin (29/4).

Ia merasa miris bila orang tua lebih sibuk dengan gawainya daripada merawat anak. Ia khawatir perilaku tersebut akan ditiru oleh anaknya. Dampaknya, budaya literasi kepada anak menjadi sulit diwujudkan.

Khusus di Kemendikbud, sudah ada program Gerakan Literasi Keluarga (GLK) sebagai jawaban atas permasalahan tersebut. GLK tak hanya berfokus pada anak sebagai objek, melainkan juga pada orang tua sebagai subjek.

GLK berupaya mengajarkan pada orang tua mengenai bacaan mana yang tepat untuk tumbuh kembang si kecil. Selain itu, ada forum keluarga di GLK, di mana orang tua bisa bertukar pengalaman.

"Keluarga, sekolah dan pergaulan penting dalam pembentukan jati diri anak. Siapkan semuanya mulai dari lingkungan keluarga. Budaya literasi tidak bisa tiba-tiba diraih tanpa ketekunan," ucapnya.

Selain GLK, upaya untuk meningkatkan literasi masyarakat yakni dengan menggiatkan Gerakan Literasi Masyarakat (GLM). GLM juga menjadi jawaban mengenai masih adanya warga Indonesia yang mengalami buta aksara.

Harris menyebutkan, di Provinsi Papua, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Bali, angka buta aksara masih cukup tinggi. Diperkirakan angkanya sekitar 3,4 juta orang atau 2,04 persen yang masuk kriteria buta aksara.

“Mereka belum bisa tuliskan nama, alamat, umur," katanya.

Salah satu misi program GLM ialah memberi pelatihan masyarakat agar mampu membaca dan menulis. Misi lainnya meningkatkan budaya membaca masyarakat.

"Jadi inisiatif dari masyarakat dirikan TBM (Taman Bacaan Masyarakat), seminar, kumpulkan guru kami dukung lewat GLM. Ini berkembang hingga muncul kampung literasi, kabupaten/kota sadar membaca sebagai hasilnya," ucapnya.

Walau begitu, tantangan mengentaskan buta aksara bukan perkara mudah. Mulanya seseorang tak lagi disebut buta aksara bila sanggup membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Namun, kini standar di dunia internasional berubah, yakni menyentuh literasi digital.

“Jadi, orang harus sudah bisa pakai perangkat digital," sebutnya.

Meski demikian, Indonesia tetap menggunakan standar lama soal buta aksara. Pihaknya berkomitmen menuntaskan angka buta aksara ini sebelum menggunakan standar baru. Setelah standar baca tulis selesai, Kemendikbud baru berupaya meningkatkan standarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement