REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 95 laporan terkait Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sejak dibuka pada 20 Juni 2019. Dari semua pengaduan, masalah PPDB paling banyak muncul di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) yakni total sebanyak 64 laporan.
"Pengaduan berasal dari 10 provinsi yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, DKI Jakarta, DIY, NTT, Bali, Riau, dan Kalimantan Barat," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, di Kantor KPAI, Jumat (5/7).
Ragam pengaduan yang muncul misalnya sebanyak 9,5 persen pelapor menolak kebijakan sistem zonasi. Selain itu, laporan terkait jumlah SMA Negeri yang masih minim di sejumlah daerah juga banyak diterima oleh KPAI.
Retno mengatakan, pelapor juga mengeluhkan pengukuran jarak rumah ke sekolah yang tidak tepat sehingga merugikan anak pengadu. Selain itu, ia juga menambahkan dugaan kecurangan dan ketidaktransparanan dalam proses PPDB muncul dari Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi, Kota Bandung, Kota Denpasar, dan Kabupaten Muntilan.
Selain itu, Retno menambahkan ada daerah yang mengunakan nilai UN sebagai pertimbangan sehingga bukan zonasi murni. Hal ini menyebabkan anak pengadu yang tinggal di dekat sekolah pilihan tidak diterima di sekolah tersebut.
Lebih lanjut, Retno mengatakan dari total pelapor sebenarnya hanya 9,5 persen yang tidak setuju dengan sistem zonasi. Artinya, banyak masyarakat yang mendukung namun dengan berbagai catatan perbaikan mengenai zonasi ke depannya.
"Mayoritas pengadu menyayangkan penerapan 90 persen zonasi murni dalam Permendikbud Nomor 51/2019, sementara jumlah sekolah negeri belum merata penyebarannya," kata Retno.
Jumlah sekolah negeri yang paling minim adalah SMA sehingga banyak pengaduan yang masuk. Terkait hal tersebut, KPAI pun mendorong dibangunnya sekolah-sekolah negeri baru di berbagai daerah dari hasil pemetaan zonasi saat ini.
"Setelah kebijakan zonasi PPDB diterapkan, banyak daerah baru menyadari bahwa di wilayahnya sekolah negeri tidak menyebar merata dan ada ketimpangan jumlah sekolah di semua jenjang sekolah. SMP dan SMA negeri yang minim jumlahnya jika dibandingkan SD Negeri," kata dia.