REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai penghapusan pendidikan agama dari sekolah merupakan wacana yang tak tepat. Ketua PBNU Robikin Emhas mengatakan agama bukan merupakan sumber konflik, melainkan untuk menyelesaikan konflik dan menjadi solusi perdamaian dunia.
“Untuk itu jangan ada yang berfikir untuk meniadakan pendidikan agama di sekolah,” katanya kepada Republika.co.id, Sabtu (6/7).
Menurut Robikin, melalui agama, manusia bisa mengenal Allah sebagai Tuhan yang Maha Esa, Maha Pengasih dan Penyayang. Selain itu, jelas dia melalui agama manusia mengenal bagaimana pola hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia lainnya, serta hubungan manusia dengan alam lingkungannya.
Selain itu, mempelajari agama dimaksudkan agar menusia dapat mencapai kebahagiaan hakiki, baik di dunia maupun setelah kematiannya. Menurut Robikin berdasarkan konstitusi tidak seorang pun warga negara boleh tidak beragama. Meskipun demikian, Indonesia bukan negara sekuler yang memisahkan antara negara dengan agama dengan tembok pembatas.
Karenanya, menurut Robikin, negara harus hadir melalui pendidikan agama di sekolah. Namun demikian, pendidikan agama di sekolah tidak boleh memperhadapkan secara vis a vis antara negara dan agama.
"Ajaran agama yang dikembangkan di sekolah harus moderat dan toleran yang sekaligus menumbuhkan semangat nasionalisme tinggi. Agar setiap pemeluk agama taat kepada agamanya, namun sekaligus mencintai tanah airnya,” katanya.
Sebelumnya, praktisi Setyono Djuandi Darmono menyarankan Presiden Joko Widodo meniadakan pendidikan agama di sekolah. Pendidikan agama dinilai harus menjadi tanggung jawab orang tua serta guru agama masing-masing, bukan guru di sekolah. Dirinya berpandangan pendidikan agama cukup diberikan di luar sekolah, seperti masjid, gereja, pura, vihara, dan lainnya.