REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Masalah dalam kehidupan selalu bisa menjadi ide inovasi bagi anak bangsa, tak terkecuali mahasiswa Universitas Brawijaya (UB). Muhammad Rizka Maulana, Satrio Wiradinata dan Adin Okta merupakan segelintir orang yang mampu menemukan ide inovasi dari suatu bencana.
Rizka dan tim telah berhasil menciptakan inovasi pendeteksi korban reruntuhan bangunan yang dinamakan Deoterions. Ide ini muncul dari kisah temannya yang pernah menjadi korban gempa bumi di Padang, Sumatera Barat (Sumbar). "Saat prosesi pencarian korban banyak mengalami kesulitan," kata Juru Bicara (Jubir) Tim, Rizka kepada wartawan di Kampus UB, belum lama ini.
Tak tersedianya alat pendeteksi korban menjadi salah satu kesulitan yang sering dihadapi relawan di lapangan. Mereka harus menunggu alat bantuan dari luar negeri. Proses ini tentu saja akan memakan waktu lama sehingga akan membahayakan nyawa korban yang masih tertimbun.
"Karena rentang hidup korban itu mepet," jelasnya.
Berdasarkan situasi ini, Rizka dan tim pun berkeinginan membuat inovasi serupa dari dalam negeri. Relawan Indonesia tidak lagi bergantung atas bantuan alat dari luar negeri. Sebab, kemampuan alatnya untuk mencari korban reruntuhan bangunan tidak jauh berbeda pada umumnya.
Secara rinci, Deoterions terdiri dari rangkaian baterai, chip, kabel, hingga pelacak gelombang. Pelacak ini menggunakan saluran gelombang radio 9,15 mhz. Alat ini bisa dioperasikan melalui induk pencari sinyal pada ponsel pintar.
Adapun cara penggunaannya, alat akan berfungsi saat korban mengaktifkannya. "Dan alat selama tidak dipakai korban, tidak akan menguras energi," katanya. Sementara daya tahan baterai semenjak difungsikan akan berlangsung hingga satu bulan.
Ketika alat difungsikan dan korban melakukan pergerakan, maka sinyal akan terkirim ke alat pelacak di aplikasi ponsel pintar. Sinyal dapat diterima meski dalam sistem luar jaringan (luring) dan tanpa jaringan internet. Setelah itu, tim evakuasi bisa langsung melakukan pencarian posisi korban yang tertimbun.
Menurut Rizka, Deoterions dapat mendeteksi korban dalam radius paling jauh sekitar 112 meter. Sementara akurasi jarak yang paling bagus, yakni 10 meter.
Karena sistem pencarian dilakukan melalui gerakan korban, maka Rizka dan tim mencoba mengatur kecepatan seminimal mungkin, yakni 7,11 cm per detik. Rizka sengaja menentukan angka ini karena tim tahu korban akan sulit melakukan pergerakan secara maksimal. Korban bisa melakukan gerakan kecil untuk mengirim sinyal kehidupan pada alatnya.
Rizka tak menampik, tim belum menguji kemampuan alat dalam mendeteksi korban dari segi kedalaman. Sebab, tim lebih fokus pada pencarian korban secara linear atau samping. "nggak bisa langsung dari atas juga karena memberi beban pada korban. Jadi baru bisa dari samping dan uji di reruntuhan berhasil," katanya.
Deoterions saat ini masih harus diperbaharui di masa mendatang. Salah satunya, Rizka memiliki keinginan agar alat bisa dipakai pada kejadian tanah longsor. Untuk mencapai target tersebut, Rizka dan tim kini tengah berkoordinasi dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Malang.
"Harapannya bisa dilanjutkan dan diterapkan di tanah longsor," tambahnya.