REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Universitas Brawijaya (UB) saat ini memiliki 1.000 mahasiswa asing, baik di strata satu (S1), S2 maupun S3. Mahasiswa ini berasal dari negara konflik dan miskin, seperti Palestina dan sebagainya.
Sebagian besar mahasiswa asing dilaporkan lebih banyak mengambil program S2 dan S3. Mereka mendominasi program studi teknik dan sains. Sementara pada S1, lebih berminat pada program studi (prodi) kedokteran.
Rektor UB, Profesor Nuhfil Hanani menjelaskan, pihaknya memang lebih memprioritaskan beasiswa pada negara konflik atau miskin. "Jadi memang nggak mungkin beri beasiswa pada negara maju, harus yang di bawah kita, apalagi mereka juga minat," tegasnya.
Selain itu, Nuhfil juga menambahkan, program beasiswa pada mahasiswa asing tak lepas dari tanggungjawab yang diberikan pemerintah pusat. UB harus mampu masuk sebagai 500 perguruan tinggi terbaik dunia selama 10 tahun ke depan. Hal ini berarti UB perlu menyediakan kuota untuk mahasiswa asing.
Meski sudah berjumlah 1.000 mahasiswa asing, Nuhfil menilai pihaknya masih harus menambah kuota. "Jumlah 1.000 itu termasuk kecil. Untuk menjadi kelas dunia, kita harusnya ya paling jelek dua persen dari 60 ribu mahasiswa (jumlah mahasiswa UB saat ini--red)," ujar Nuhfil saat ditemui Republika di Gedung Rektorat UB, Kota Malang, Selasa (30/7).
Menurut Nuhfil, kampus dengan peringkat dunia memang memiliki aturan tersendiri. Antara lain jumlah mahasiswa asing harus lebih banyak dibandingkan masyarakat lokalnya. Sistem ini salah satunya terlihat pada kampus terbaik di Singapura, Nanyang Technological University (NTU).