REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Bayu Adji P
Ayu (32 tahun) tak habis pikir lantaran harus mengeluarkan uang sebesar Rp 630 ribu untuk membeli buku paket saat tahun ajaran baru sekolah putri pertamanya yang duduk di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Samarang 1 Kabupaten Garut, Jawa Barat (Jabar). Angka itu dinilai tak masuk akal dan memberatkan baginya.
Ketidaksiapan dalam hal finansial membuat ia kelabakan. Alhasil, demi memenuhi kebutuhan pendidikan anaknya, Ayu mesti `menggali lubang'alias berutang. Karena kemampuan finansial terbatas, dari delapan buku tersedia ia hanya mampu membeli lima. "Seusai kemampuan saja bayar Rp 430 ribu," kata dia kepada RepublikaKamis (1/8).
Menurut dia, sekolah atau wali kelas memang tidak mewajibkan para siswa untuk membeli buku paket tersebut. Namun, sekitar sepekan setelah masuk sekolah, anaknya pulang dengan membawa lembaran daftar buku pendamping agar dimiliki para siswa.
Lembaran itu bertuliskan judul, jumlah yang harus dibeli, dan harga buku. Di atas lembaran itu terdapat kop surat penerbit Erlangga. Sementara itu, di bagian bawah surat itu, terdapat tanda tangan wali kelas menyetujui.
Para siswa dianjurkan membeli buku pendamping tersebut di toko buku yang terletak di samping sekolah. Untuk mendapatkan buku itu, orang tua juga diperbolehkan untuk mengangsur. "Jadi, semua orang tua beli ke sana karena dianjurkan ke toko itu," kata dia.
Sementara itu, orang tua siswa lainnya, Nani (35), mengaku harus mengeluarkan uang Rp 435 ribu untuk membeli enam buku paket bagi anaknya yang masih duduk di kelas 1. Namun, pembayarannya dapat diangsur selama enam bulan. Meski harga buku relatif mahal, ia mengaku menerima. "Kalau saya mah nggak komplain," kata dia.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Garut, Totong, sebelumnya menyatakan, telah menginstruksikan pihak sekolah untuk segera menarik kembali seluruh buku pelajaran yang sudah terjual kepada siswa. Sesuai Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, tidak boleh ada aktivitas penjualan buku pelajaran di dalam sekolah. "Buku harus dikembalikan," kata dia.
Menurut dia, pengadaan buku untuk menunjang kegiatan belajar mengajar di sekolah sudah ditanggung pemerintah melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Artinya, tidak lagi diperlukan buku pendamping untuk kegiatan belajar siswa.
Koordinator Wilayah Pendidikan Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut, Marwan, mengatakan, buku pelajaran untuk siswa di sekolah negeri telah ditanggung dengan dana BOS. Artinya, sekitar 20 persen dari anggaran BOS wajib dialokasikan untuk keperluan buku pelajaran para siswa sehingga tidak diperlukan lagi buku pendamping. Sebab, sekarang sudah dipenuhi dan bisa dibawa pulang oleh anak.
Setiap sekolah menerima BOS buku,kata dia. Terkait adanya orang tua yang keberatan membeli buku pendamping, dia mengklaim, tidak ada keterlibatan sekolah atau guru dalam pembelian buku dari salah satu penerbit.
Kepala Sekolah SDN Samarang 1 Kabupaten Garut, Asep Supriatna, mengatakan, pembelian buku pendamping tidak dianjurkan oleh sekolah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dia mengklaim, guru juga tidak menganjurkan untuk membeli buku pendamping.
Dia mengaku, sekolah yang dipimpinnya berkali-kali kedatangan penerbit Erlangga yang hendak menawarkan buku pendamping. Asep mengklaim, tawaran itu selalu ditolak. Namun, menurut dia, penerbit justru berkomunikasi dengan orang tua.
Ihwal adanya selembar kertas buku yang direkomendasikan bagi siswa, Asep mengklaim tak tahu-menahu. Dia menduga, kertas itu dibuat oleh penerbit yang mengatasnamakan sekolah.
Setelah adanya orang tua yang mengeluh melalui media, Asep mengatakan, sekolah langsung menggelar rapat dengan sekitar 70 orang tua siswa. Dalam rapat itu ditegaskan bahwa siswa tidak diharuskan membeli buku karena sudah ada yang disediakan sekolah.
Terkait adanya instruksi untuk menarik buku yang telah dibeli orang tua siswa, Asep menilai, hal itu sulit untuk dilakukan. Dia mengaku, sudah mencoba menghubungi penerbit agar menarik buku yang sudah terjual. "Tapi, beberapa kali saya telepon tidak diangkat. Hingga saat ini belum ada penjelasan," kata dia.
Perwakilan penerbit Erlangga Kabupaten Garut, Oman, mengatakan, proses penjualan buku pendamping bagi siswa dilakulan menyasar langsung kepada orang tua. Pasalnya, sekolah negeri tak diperkenankan menjual buku di lingkungan sekolah.
"Sasaran kami, ketika sekolah tidak bersedia kerja sama, salah satu pemasarannya melalui outlettanpa ada pemaksaan untuk pembelian buku," kata dia.
Oman membantah jika penjualan buku pendamping kepada para siswa itu ilegal. Sebab, kata dia, buku dijual diuar area sekolah, bukan di dalam atau oleh sekolah. Lagi pula, sasaran penjualan itu dilakukan langsung ke orang tua tanpa perantara sekolah.
Terkait adanya instruksi menarik kembali buku yang sudah terjual, ia akan menyanggupi itu. Namun, penarikan akan dilakukan jika ada bukti penjualan dilakukan di dalam sekolah. Kami kanjual di luar sekolah, kata dia. (ed:mas alamil huda)