Rabu 18 Sep 2019 18:27 WIB

Pendidikan Karakter Anak Pemulung di Sekolah Kami

Siswa Sekolah Kami terdiri anak pemulung dan kaum dhuafa.

Sekolah Kami
Foto: Erik PP/Republika
Sekolah Kami

REPUBLIKA.CO.ID, Erik Purnama Putra/Wartawan Republika

Joko tampak asyik memainkan gitar mini sambil duduk di pintu depan masuk ruang kelas, didampingi Junaidi dan Subhan. Ketiga siswa yang baju seragamnya tidak dimasukkan ke celana ini menggoyangkan tubuhnya mengikuti irama senar gitar fals tersebut.

Waktu menunjukkan pukul 08.30 WIB, namun siswa kelas VII atau setara kelas 1 SMP Sekolah Kami masih duduk-duduk santai, lantaran belum ada satu guru pun tiba di sekolah. "Kami mulai sekolahnya pukul 09.00 WIB, guru sebentar lagi datang. Sebelum kami masuk kelas, diawali shalat Dhuha dahulu," ucap Joko saat ditemui Republika di Sekolah Kami, Jalan Bintara Jaya IV Gang Masjid, Kecamatan Bekasi Barat, Kota Bekasi pada Senin (16/9).

Sejurus kemudian, tiga laki-laki remaja ini beranjak dari tempat duduknya untuk ikut antre di pancuran untuk berwudhu. Dalam hitungan menit, puluhan siswa SD dan SMP khusus anak pemulung dan kaum dhuafa ini sudah berkumpul di pendopo sekolah.

Mereka terdiri siswa kelas 1 sampai 5 SD, serta kelas satu dan tiga SMP. Adapun kelas 6 SD dan kelas 2 SMP kosong. Dalam satu ruang kelas yang dipisahkan dinding bambu, ada yang terdiri belasan siswa dan paling sedikit di bawah 10 siswa.

Joko yang tadinya bergaya slengean tiba-tiba sudah berada di depan menjadi imam. Dia pun memimpin dua shaf laki-laki di bagian depan dan dua shaf perempuan di belakangnya untuk menunaikan shalat Dhuha. Adapun siswa perempuan yang sedang berhalangan tetap ikut duduk di bagian paling belakang. Di sela-sela siswa shalat, guru-guru Sekolah Kami mulai berdatangan.

"Itu tadi Joko yang jadi imam, semuanya ikut shalat karena jadwal sekolah seperti itu," kata Junaidi yang menjadi makmum dan menjelaskan sosok rekannya yang dipercaya menjadi imam shalat. Joko hanya tersipu malu ketika namanya disebut, dan tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Sekolah Kami memang terbilang spesial lantaran lokasinya berada di kampung pemulung yang sekelilingnya wilayah kumuh. Berlokasi tak jauh dari Gerbang Tol Kalimalang 2 yang berbatasan dengan Jakarta Timur, semua siswa memang berstatus sebagai anak pemulung dan kaum dhuafa.

Mereka semua sekolah lantaran di rumahnya juga tidak merasa diperhatikan orang tuanya, yang sibuk bekerja mencari barang bekas. Subhan misalnya, ia merasa senang bisa sekolah yang menggabungkan konsep belajar di dalam kelas sekaligus praktik tersebut.

Pasalnya, ia dapat mengenyam pendidikan formal secara gratis dengan suasana sekolah yang penuh kekeluargaan. "Sekolah mulai pukul 09.00 WIB sampai 13.00 WIB, habis itu kadang ikut ayah memulung, kadang sebelum atau sepulang sekolah," kata Subhan yang ibu kandungnya sudah meninggal ini.

Tinggal tak jauh dari Sekolah Kami, Subhan merasa beruntung setidaknya waktunya tidak habis untuk memulung bersama ayahnya. Pasalnya, kalau di rumah, kegiatannya hanya menonton televisi atau tidur-tiduran saja. Dia juga jarang bermain sebagaimana remaja pada umumnya, lantaran tetangga kiri kanannya semuanya bekerja sebagai pemulung.

"Saya paling jauh ngambil bahan sampai Kranji, nanti hasil memulung bahan dikumpulin dulu dan dipilah, terus baru dijual bareng ayah. ," ucap Subhan sambil duduk di mesin jahit yang mulai biasa dioperasikannya tersebut.

Subhan merasa sudah biasa dengan keadaan itu, lantaran keluarganya memang termasuk kelompok tidak berada. Subhan pun berharap, bekal pendidikan dan keterampilan yang didapatnya di Sekolah Kami dapat berguna di masa depan. "Makanya saya senang sekolah, banyak teman dan diajarkan keterampilan di sini."

Junaidi yang orang tuanya juga sebagai pemulung merasa beruntung bisa merasakan pendidikan di Sekolah Kami. Sambil menunduk, ia mengaku, gembira bisa sekolah yang kesehariannya diisi dengan bermacam pembelajaran praktik, seperti menjahit, membuat tas dari barang bekas, merajut, hingga bermain angklung.

Junaidi yang sejak kelas satu SD menempuh pendidikan di Sekolah Kami memang merasa cocok dengan lingkungan sekolah, yang dianggapnya bisa menerima kekurangannya. Hal itu juga ditambah dengan kesabaran para guru yang bisa menerima kemampuan muridnya, yang memiliki latar belakang dari keluarga kelas bawah tersebut.

"Saya dapat pelajaran umum di sini, tapi juga banyak keterampilan yang diajarkan, sampai membuat sabun segala. Kalau libur tidak sekolah, ya saya ikut mulung," kata Junaidi yang rumahnya berada di area kampung pemulung ini. Dia pun bertekad ketika besar tidak ingin jadi pemulung seperti kedua orang tuanya.

Pada pagi beranjak siang itu, salah satu guru Bu Yanti, kedapatan membawa tahu dan nasi yang berasal dari bantuan donatur. Sembari mengisi kelas, ia memasak di dapur umum dibantu siswa-siswi kelas V SD. "Maaf ya Mas, saya harus menyiapkan masakan buat anak-anak," kata Bu Yanti.

photo
Sekolah Kami

Dia pun meminta siswa perempuan untuk membeli beberapa bumbu masakan, dan siswa laki-laki bernama Imam, mendapat tugas membeli air galon. Pantauan Republika, terlihat keceriaan para siswa yang membantu gurunya menyiapkan hidangan makan siang tersebut. Kesan kekeluargaan antara guru dan murid tergambar jelas dengan antusiasnya anak-anak ikut memasak dan menyiapkan menu yang akan dihidangkan.

Pendidikan karakter

Salah satu guru Sekolah Kami, Ririn Puji Lestari Ningsih menuturkan, pelaksanaan proses belajar mengajar di Sekolah Kami memang tidak bisa disamakan dengan sekolah formal negeri atau swasta yang muridnya berasal dari keluarga berkecukupan. Menurut dia, manajemen sekolah memang tetap mengacu pada kurikulum sekolah formal, namun ada modifikasi pelajaran yang harus disesuaikan dengan kepribadian siswa.

Hal itu lantaran para murid Sekolah Kami berlatar belakang dari keluarga yang orang tuanya tidak terlalu memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Karena itu, pihaknya memang lebih menekankan pendidikan karakter bagi para siswa selama di sekolah. Berkat ketekunan para siswa, sambung dia, mereka semua bisa baca tulis dan tidak kalah dalam menyerap mata pelajaran dibandingkan siswa sekolah umum lainnya.

"Ini kan anak-anak orang tuanya ada yang gak ngerti dan bahkan buta huruf. Makanya pengajarannya berdasarkan kemampuan, bukan usia siswa. Kalau ada umur sembilan tahun baru masuk ya gabung kelas satu SD tidak masalah, kami mengerti mereka," ucap Ririn.

photo
Sekolah Kami

Dia menyebut, siswa di Sekolah Kami adalah dari golongan kelas bawah, sehingga kurikulum yang diajarkan menggabungkan metode pelajaran umum dan pengajaran keterampilan. Dengan karakter siswa yang semuanya berasal dari keluarga kelas bawah, sambung dia, anak-anak itu mau sekolah saja sudah merupakan langkah baik.

Ririn melanjutkan, siswa memang tidak dikonsentrasikan untuk memahami mata pelajaran seperti di sekolah formal. Hal itu juga untuk menyesuaikan agar siswa bisa nyaman selama di lingkungan sekolah. Sehingga, pihak sekolah lebih fokus mendidik siswa agar menjadi pribadi yang percaya diri, jujur, dan punya skill selepas lulus.

"Makanya kami kenalkan shalat Dhuha mulai dua tahun ini, sekarang jadi wajib sebelum mulai sekolah. Ini kami ingin pembinaan akhlak dan keterampilan mereka, karena kalau siang, kami tidak bisa mengontrol aktivitas mereka di luar sekolah," ucap Ririn.

Ririn melanjutkan, pihak sekolah juga menyediakan fasilitas antar jemput siswa menggunakan angkot dengan jarak terjauh rumah dua kilometer, menyediakan makan siang, memberi seragam, sepatu, alat tulis, hingga meja, yang semuanya berasal dari donatur yang terus berdatangan.

Dia bersyukur, para siswa dari latar belakang keluarga kekurangan itu terlihat semangat ketika bersekolah setiap Senin sampai Jumat. "Semuanya gratis kita berikan karena mereka memang dari golongan dhuafa dan orang tuanya pemulung," ucap Ririn.

Dia menambahkan, para siswa juga mengerti kalau mereka ingin lulus maka harus mengikuti ujian Kejar Paket A untuk siswa SD dan Paket B untuk SMP. Untuk mengikuti program Kejar Paket A dan B yang berbiaya  antara Rp 800 ribuan sampai hampir Rp 1 juta per siswa, pihaknya membebankannya kepada siswa.

Agar para orang tua siswa tidak berat dengan biaya sebesar itu, menurut Ririn, pihak sekolah setiap harinya mengajak siswa untuk rutin menabung. Nanti uang yang terkumpul itu digunakan membayar biaya Paket A dan B yang diselenggarakan di Suku Dinas Pendidikan Jakarta Timur. Penarikan biaya itu juga agar siswa memiliki tanggung jawab besar agar serius selama menerima pelajaran di sekolah.

"Siswa juga diajak membuat keterampilan membuat tas, bungkus tisu, dan lain-lain yang dijual ketika ada tamu ke sini atau ikut bazar, sebagai pemasukan. Kita tidak ingin menalangi semua agar mereka sekolah tak asal-asalan," kata Ririn.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement