Selasa 05 Nov 2019 20:00 WIB

Akademisi: Kesiapan Industri 4.0 Terlalu Dilebih-lebihkan

Pembicaraan mengenai industri 4.0 dikhawatirkan belum masuk ranah substansi.

Rep: my28/ Red: Fernan Rahadi
Universitas Gadjah Mada
Foto: en.wikipedia.org
Universitas Gadjah Mada

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Perkembangan revolusi industri 4.0 telah membuka ruang bagi masuknya akses informasi yang dapat membantu demokratisasi dan meningkatkan kesejahteraan.  Namun, selaras dengan hal tersebut, revolusi industri juga memunculkan kompleksitas permasalahan baru bagi negara berkembang termasuk Indonesia meliputi eksploitasi ekonomi, ketimpangan, serta menimbulkan terjadinya culture shock dalam menghadapi perubahan signifikan yang disebabkan oleh Industri 4.0.

Direktur Institute of International Studies UGM, Riza Noer Arfani menuturkan kesiapan menghadapi industri 4.0 terkesan terlalu dilebih-lebihkan. "Perlu untuk mengkritisi lebih dalam apakah euforia tersebut telah berjalan dengan baik, khususnya dapat terimplementasikan dengan kondisi industri manufaktur di Indonesia dewasa ini," ujarnya kepada wartawan dalam Kegiatan GO SOUTH 2019 “Annual Convention on the Global South: Rethinking International Relations in the Era of Technological Disruptions” yang diselenggarakan oleh Departemen Hubungan Internasional UGM bertempat di Balai Senat UGM, Yogyakarta, Selasa (6/11).

Menurutnya perkembangan industri manufaktur di Indonesia sebagian besar masih belum mampu selaras dengan perkembangan industri 4.0. “Sebagian besar masih 3.0 atau bahkan 2.0,” ungkapnya. 

Riza menjelaskan hal ini dimungkinakan terjadi sebab pemerintah lupa untuk melakukan revitalisasi atau penguatan industri manufaktur sesuai dengan perkembangan industri 4.0 agar tidak tertinggal.