REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Perkembangan revolusi industri 4.0 telah membuka ruang bagi masuknya akses informasi yang dapat membantu demokratisasi dan meningkatkan kesejahteraan. Namun, selaras dengan hal tersebut, revolusi industri juga memunculkan kompleksitas permasalahan baru bagi negara berkembang termasuk Indonesia meliputi eksploitasi ekonomi, ketimpangan, serta menimbulkan terjadinya culture shock dalam menghadapi perubahan signifikan yang disebabkan oleh Industri 4.0.
Direktur Institute of International Studies UGM, Riza Noer Arfani menuturkan kesiapan menghadapi industri 4.0 terkesan terlalu dilebih-lebihkan. "Perlu untuk mengkritisi lebih dalam apakah euforia tersebut telah berjalan dengan baik, khususnya dapat terimplementasikan dengan kondisi industri manufaktur di Indonesia dewasa ini," ujarnya kepada wartawan dalam Kegiatan GO SOUTH 2019 “Annual Convention on the Global South: Rethinking International Relations in the Era of Technological Disruptions” yang diselenggarakan oleh Departemen Hubungan Internasional UGM bertempat di Balai Senat UGM, Yogyakarta, Selasa (6/11).
Menurutnya perkembangan industri manufaktur di Indonesia sebagian besar masih belum mampu selaras dengan perkembangan industri 4.0. “Sebagian besar masih 3.0 atau bahkan 2.0,” ungkapnya.
Riza menjelaskan hal ini dimungkinakan terjadi sebab pemerintah lupa untuk melakukan revitalisasi atau penguatan industri manufaktur sesuai dengan perkembangan industri 4.0 agar tidak tertinggal.
Sementara itu, Dosen Hubungan Internasional UGM, Mohtar Mas’oed mengungkapkan perkembangan industri 4.0 adalah hal yang sering dibicarakan oleh kalangan elite pejabat negara atau pemerintah. Dirinya mengkhawatirkan pembicaraan tersebut belum sepenuhnya memasuki ranah substansi permasalahan.
"Hanya bertolak pandangan pada bisnis besar yakni bisnis online tertentu. Akan tetapi, bagi sebagian kalangan industri manufaktur khususnya di daerah, belum terlalu banyak memahami kendati persoalan tersebut," katanya
Mochtar menyampaikan dewasa ini, pengetahuan yang dimiliki cenderung hanya terbatas pada pengadaan informasi, serta mendukung industri manufaktur melakukan hubungan kepada konsumen agar lebih mudah. Ia mengungkapkan kekhawatirannya bahwa pemerintah membicarakan 4.0 hanya sekedar popularitas atau modernisasi.
Menurutnya perlu adanya riset dan pengembangan teknologi tersebut secara komprehensif. Jika tidak, maka bangsa ini hanya akan membeli dan memulai lagi untuk mengikuti. "Berkaca pada apa yang dulunya dimulai oleh (Alm) BJ Habibie lantas dikembangkan oleh pihak lain," tuturnya menjelaskan.
Terlebih untuk kegiatan industri tersebut, Produk Domestic Bruto (PDB) yang dihasilkan hanya sebanyak 0,24 persen pada tahun 2017 berdasarkan data dari UNESCO. Menurutnya, praktik kelemahan di Indonesia cenderung sulit untuk memutuskan kebijakan yang bersifat teknik, akibat adanya pertimbangan politik, kepentingan, dan lainnya.
“Contoh industri dirgantara. Bukti kita terlalu kaku pada suatu kebijakan, akhirnya ini kan membuat pesawat terbang untuk negeri lain. Persoalannya, bukan kita perlu atau tidak perlu industri tersebut, tapi sudah mempersiapkan diri atau tidak," katanya.
Sementara itu, Profesor Ilmu Politik Universitas New Delhi Ashok Acharya menjelaskan pentingnya peran pemerintah untuk mengetahui apa yang seharusnya mereka lakukan dalam menerapkan sebuah kebijakan terkait dengan perkembangan industri 4.0.
Selaras dengan hal tersebut, Vice President Tokopedia Nanang Chalid mengingatkan pentingnya peran teknologi dalam pembangunan sebuah startup misalnya guna berorientasi pada tujuan yang menghasilkan kebermanfaatan terhadap pihak lain.