Senin 09 Dec 2019 16:53 WIB

IKA UPI Buat Rekomendasi Dukung Penghapusan UN

Pemerataan pendidikan dianggap lebih penting dibandingkan UN.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Dwi Murdaningsih
 IKA UPI mendukung wacana meniadakan Ujian Sekolah Berbasis Nasional (USBN) pada tahun 2020 dan Ujian Nasional (UN) pada tahun 2021 dengan asesmen yang tepat sasaran FotoPelajar SMP saat mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) di ruang kelas SMP Negeri 5 Kota Sorong, Papua Barat, Selasa (23/4/2019).
Foto: Antara/Olha Mulalinda
IKA UPI mendukung wacana meniadakan Ujian Sekolah Berbasis Nasional (USBN) pada tahun 2020 dan Ujian Nasional (UN) pada tahun 2021 dengan asesmen yang tepat sasaran FotoPelajar SMP saat mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) di ruang kelas SMP Negeri 5 Kota Sorong, Papua Barat, Selasa (23/4/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Ikatan Alumni Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia merumuskan beberapa rekomendasi yang akan diserahkan kepada Menteri Pendidikan RI. Salah satu rekomendasi tersebut, adalah IKA UPI mendukung wacana meniadakan Ujian Sekolah Berbasis Nasional (USBN) pada tahun 2020 dan Ujian Nasional (UN) pada tahun 2021 dengan asesmen yang tepat sasaran.

Menurut Ketua IKA UPI Komisariat Departemen Pendidikan Sejarah, Dadan Wildan Anas rekomendasi tersebut dirumuskan dalam Seminar Nasional bertajuk Revitalisasi Profesionalisme Guru'' di Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), pada Sabtu, (7/12). Seminar ini dihadiri oleh sekitar 1000 orang guru, dosen, dan tenaga kependidikan.

Baca Juga

"Harusnya pendidikan di Indonesia merata sebelum UN ditetapkan," ujar Dadan kepada wartawan akhir pekan ini.

Menurut Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (Ketum IKA UPI), Enggartiasto Lukita, Indonesia saat ini masih menghadapi kesenjangan kualitas pendidikan antar satu daerah dan daerah lainnya.

"Jadi persoalan UN ini perlu dan tak perlu. UN bisa saja, kalau sekolah secara keseluruhan punya parameter yang sama. Jadi tak bisa kebijakan dilakukan seketika tanpa melihat kondisinya," paparnya.

Enggar menjelaskan, di negara lain ada UN karena di negara tersebut standarnya sama. Selaan itu, di luar negeri jumlah siswanya pun sedikit sekitar 15 siswa perkelas bahkan ada yang 20 siswa.

"Dan mereka memiliki standar yang sama hasil sekolah jadi bisa diterima.  Kita satu kelas bisa 20, 30 bahkan ada yang 50 orang dengan kualitas tak merata. Ini, jadi persoalan sendiri," katanya.

Oleh karena itu, Enggar menilai harus ada revitaalisai guru dan pendidikan dahulu. Karena, pendidikan di Indonesia timur tak sama dengan DKI.

"UN jangan sampai menjadi beban dan hanya membuat siswa tertekan. Kalau itu penghakiman. Ya, 2020 lah. Saya percaya mas menteri akan melakukan itu," ucap dia.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement