REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada tahun 2019 Penerimaan Peserta Didik (PPDB) berbasis zonasi yang diterapkan secara masif di seluruh wilayah Indonesia menuai kontroversi. Sehingga untuk tahun ajaran 2020, PPDB dengan sistem zonasi masih dikaji oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Namun sejumlah pihak menyarankan agar sistem zonasi tetap diteruskan untuk PPDB 2020 meski masih banyak kekurangan. Hal ini seperti diutarakan oleh Pengamat Pendidikan, Doni Koesoema.
Doni menilai PPDB berbasis zonasi masih sangat relavan untuk tahun ajaran 2020 dan harus tetap dipertahankan. Terkait kekurangan-kekurangan yang ada pada sistem zonasi tersebut tetap wajib diperbaiki atau disempurnakan.
Sehingga tujuan dari sistem zonasi yaitu diantaranya adalah pemerataan kualitas pendidikan dan keadilan sosial dapat terwujud. "Jadi menurut saya kebijakan zonasi yang sekarang tetap dipertahankan lalu kekurangan yang sebelumnya itu perlu diperbaiki," ujar Doni saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (10/12).
Menurut Doni, ada beberapa hal yang harus menjadi catatan bagi Kemendikbud mengenai PPDB sistem zonasi agar lebih baik dibanding saat pertama kali diterapkan. Diantaranya, Kemendikbud harus terus melakukan sosialisasi dengan kepala dinas daerah setempat.
Sebab yang lebih mengetahui bagaimana keadaan di lapangan adalah dinas pendidikan di daerah-daerah. Kemudian juga, memberikan informasi secara masif kepada kepada para orang tua siswa.
"Proses mekanismenya seperti apa? Memang sesuatu yang baik dan harus dilanjutkan meskipun ada kekurangan sana-sini tapi prinsipnya PPDB Zonasi itu cukup baik berkeadilan sosial," ungkap Doni.
Kemudian, lanjut Doni, banyak sekolah-sekolah negeri melebih Ruang Belajar atau Rumbel yang telah ditentukan. Akibatnya banyak sekolah yang melebihi kuota dam ini dapat membuat sistem zonasi tidak berjalan dengan baik.
Maka sebaiknya sekolah-sekolah tidak boleh menambah-nambahkan Rumbel seenaknya. Lalu untuk daerah-daerah yang kosong benar-benar tidak ada zonasinya, pemerintah daerah harus mencari solusinya.
Maka pemerintah daerah harus lebih proaktif untuk mendesain dan mengelolah kebijakan zonasi. Itu perlu dilakukan agar dapat memberikan keadilan kepada semua anak di seluruh Indonesia.
"Jangan sampai anak-anak terlantar tidak bisa masuk sekolah gara-gara tidak mendapatkan zonasi," tegas Doni.
Selanjutya, Doni mengusulkan bahwa kebijakan zonasi jangan hanya dilihat dari jarak saja tapi juga harus dipertimbangkan aksesnya. Karena ada jarak yang cukup jauh tapi memiliki akses yang cukup baik, seperti adanya transportasi umum.
Begitu juga sebaliknya, zonasi yang jaraknya cukup pendek tapi akses sangat sulit, seperti harus melewati gunung dan lainnya. "Namun sistem zonasi ini tidak berlaku pada daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal) dan itu sudah dalam peraturan," kata Doni.
Sementara untuk kasus sekolah yang tidak mendapatkan atau sedikit calon siswa, biasanya di sekolah-sekolah swasta. Jika memang ada sekolah negeri yang bernasib seperti itu maka perlu dikaji, apakah itu akibat dari penerapan kebijakan zonasi atau faktor lainnya. Atau, sambung Doni, dikarenakan adanya sekolah negeri yang memperbanyak Rumbelnya sendiri.
"Di satu zona itu seharusnya dibagi-bagi kalau memang sekolah negeri sudah tidak bisa orang tua mau gak mau tidak bisa memilih anak-anaknya disekolahkan di sekolah swasta," ujar Doni.