REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin mengaku tak mempersoalkan sistem asesmen kompetensi minimum dan survei sebagai pengganti Ujian Nasional (UN). Menurut Kiai Ma'ruf, yang terpenting sistem asesmen kompetensi minimum dan survei karakter bisa menjadi alat ukur dan standar pendidikan nasional.
"Kalau UN kan keliatan, oh di Jakarta gini, Papua gini. Itu keliatan kemampuannya," ujar Kiai Ma'ruf merespons rencana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menerapkan sistem asesmen kompetensi minimum dan survei sebagai pengganti UN pada 2021 di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (11/12).
"Sekarang kita harus punya itu, kalau UN tidak ada, harus punya itu, nggak masalah ditiadakan (UN) tapi gantinya harus ada, dan sedang dikaji oleh Dikbud," kata dia.
Karena itu, Kiai Ma'ruf menilai perlunya pengujian sistem untuk mengetahui apakah bisa menjadi alat ukur sistem pendidikan nasional. Sebab, alat ukur penting untuk meningkatkan standar-standar pendidikan di daerah yang belum merata.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memang diharuskan mencari pengganti sistem yang bisa jadi alat ukur jika ingin mengganti UN. "Nanti kan akan diuji, apakah memang memiliki atau bisa jadi alat ukur dan untuk (standar) tingkat pendidikan dari masing masing daerah. (alat ukur) penting, sebab bagaimana kita nanti meningkatkan dari standar-standar yang ada itu," ujar Ma'ruf.
Kiai Ma'ruf mengatakan, alat ukur menjadi acuan agar pendidikan merata di berbagai tingkatan dan seluruh daerah di Indonesia. "Karena itu saya mengatakan kalau mau mengganti UN harus ada alat ukur yang efektif yang bisa mengukur tingkat standar daripada pendidikan di masing-masing daerah," ujarnya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nadiem Makarim akan mengubah sistem penilaian pendidikan nasional menjadi lebih sederhana. Ia mengatakan, pada 2021, sistem penilaian yang selama ini menggunakan UN akan diganti menjadi asesmen kompetensi minimum dan survei karakter.
Asesmen kompetensi minimum akan menilai aspek literasi dan numerasi. Nadiem menjelaskan, literasi yang dimaksud bukanlah sekadar kemampuan membaca. Literasi adalah kemampuan menganalisis suatu bacaan. Jenis penilaian selanjutnya adalah numerasi. Numerasi, kata Nadiem, adalah kemampuan menggunakan angka-angka.
"Ini adalah dua hal yang akan menyederhanakan asesmen kompetensi yang dilakukan mulai 2021. Jadi, bukan berdasarkan mata pelajaran lagi, bukan berdasarkan konten. Ini berdasarkan kompetensi dasar yang dibutuhkan murid-murid untuk bisa belajar apapun mata pelajarannya," kata Nadiem, saat membuka Rapat Koordinasi bersama Dinas Pendidikan di Indonesia, di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (11/12).