REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) memberikan enam rekomendasi terkait pendidikan Indonesia. JPPI mengeluarkan rekomendasi sebagai masukan atas masukan-masukan yang diberikan untuk Kemendikbud.
Pertama, peran Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (Dirjen PAUD dan Dikmas).sebaiknya dipulihkan kembali bahkan diperkuat. Sebab selama ini mereka tidak berdaya karena keterbatasan anggaran.
"Harus diperkuat, bukan malah dilemahkan. Ini penting sebagai bagian dari pendidikan rakyat kecil dan mendukung program literasi berbasis masyarakat dan life long learning," ujar Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji.
Kedua, adalah penguatan komite sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sekolah. Tidak hanya pada monitoring, tapi melibatkan mereka sejak proses perencanaan, pelaksanaan program, hingga evaluasi.
"Ini untuk menyeimbangkan peran kepala sekolah dan Dinas Pendidikan yang terlalu dominan," ujar Ubaid.
Ketiga, sistem zonasi dalam PPDB sebaiknya tidak diberlakukan secara nasional. Tapi dilakukan dengan model piloting system.
Nantinya, daerah yang sudah dinyatakan siap, boleh memberlakukan model zonasi. Jadi yang menjadi fokus utama saat ini adalah peningkatan, pemerataan mutu sekolah dan kualitas guru.
"Termasuk di dalamnya adalah penyelesaian kasus-kasus guru honorer, supaya tidak menjadi dosa kebijakan yang turun-temurun," ujar Ubaid.
Selanjutnya, pemerintan harus melakukan penguatan literasi di sekolah. Rendahnya skor PISA dan maraknya hoaks disebut sebagai dampak dari budaya literasi di sekolah yang rendah.
"Budaya literasi ini akan membuka cakrawala berpikir dan nalar kritis untuk memilih dan memilah mana berita yang layak dikonsumsi dan tidak," ujar Ubaid.
Terakhir, JPPI menyarankan pemerintah untuk tidak hanya membuat peraturan tentang sekolah ramah anak. Tapi bagaimana sekolah ramah anak itu bisa diwujudkan.
Pasalnya, peraturan tanpa ada will dari semua stakeholder pendidikan tidak akan berkontribusi apapun. Khususnya terhadap perbaikan kualitas sekolah.
Terakhir, pemerintah, harus memperioritaskan dan mengarusutamakan moderatisme beragama. Ditambah dengan nilai-nilai multikulturalisme dalam pembelajaran di sekolah, untuk menangkal intoleransi dan radikalisme.
"Harus ada evaluasi dan langkah intervensi yang sistematis terhadap guru-guru yang terpapar pemikiran dan sikap intoleran dan radikal," ujar Ubaid.