REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengatakan kebijakan mengubah persentase dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) menjadi maksimal 50 persen untuk gaji guru honorer bukan solusi. Namun, hal ini merupakan bentuk kehadiran pemerintah dalam memecahkan masalah banyaknya guru honorer yang digaji tidak layak.
"Jadi ini bukan solusi untuk honorer, tapi langkah pertama. Kami dari kementerian juga ada rasa tanggung jawab atas berbagai macam guru honorer yang layak dibayar. Ini langkah pertama," kata Nadiem, dalam bincang-bincang pendidikan di Kantor Kemendikbud, Rabu (12/2).
Ia menjelaskan, gaji untuk honorer memang merupakan tanggung jawab daerah. Namun, pada kenyataannya selama bertahun-tahun masalah gaji untuk guru honorer masih menjadi problematika yang belum bisa diselesaikan.
Menurut Nadiem, ke depannya pihaknya masih terus mencari solusi yang lebih baik. Ia menegaskan, selama menunggu solusi yang lebih tepat tersebut Kemendikbud memberikan kebebasan yang lebih besar bagi sekolah untuk menggunakan dana BOS.
"Jadi diberikan fleksibilitas, sementara kita mencari solusi yang lebih baik. Ini lho, solusi yang bisa kita berikan langsung dari pusat, paling tidak kepala sekolahnya juga bisa memilih," kata dia.
Nadiem juga menambahkan, penggunaan dana BOS untuk gaji guru honorer memiliki kriteria. Salah satunya adalah tidak boleh diberikan kepada guru honorer yang baru diterima. Guru honorer yang berhak menerima dana BOS tersebut harus terdaftar di data pokok pendidikan (dapodik) paling lambat Desember 2019. "Jadi hanya untuk yang sudah bekerja," kata Nadiem.
Ke depannya, Nadiem berharap pemerintah daerah bisa mandiri dalam menggaji guru honorer. Namun, hingga saat ini pihaknya masih belum menemukan solusi yang tepat agar pemerintah daerah bisa membayar guru honorer dengan gaji yang layak. "Guru honorer itu wewenang kepala sekolah dan juga dinas daerah yang mengontrol daerah itu," kata dia.
Terkait menggaji guru honorer ini, kata Nadiem, membutuhkan kebijakan lintas tiga kementerian, yakni Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Kemendikbud. Selanjutnya, kementerian-kementerian terkait akan terus berkoordinasi agar hak para guru honorer bisa dipenuhi.
Ia menegaskan, koordinasi antara kementerian dan pemerintah pusat dan daerah akan selalu dilakukan ke depannya. "Kita selalu satu tim," kata Nadiem menegaskan.
Sementara itu, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai keputusan meningkatkan persentase dana BOS untuk guru honorer sebenarnya tidak tepat. Menurut Wasekjen FSGI, Satriwan Salim, alih-alih pro terhadap guru honorer, pemerintah pusat sebenarnya tidak menyelesaikan persoalan guru honorer sampai ke akarnya.
Satriwan menyinggung soal guru honorer yang sudah lolos seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) pada 2019 lalu. Hingga saat ini, para guru honorer tersebut masih belum mendapatkan SK pengangkatannya, penempatan, dan gaji resmi dari negara.
Ia juga mengatakan, alokasi dana BOS untuk guru honorer ini dilematis. Sebab, sekolah-sekolah akan terhambat pembangunan infrastruktur, pelatihan, dan pembinaan guru atau alokasi lain terkait dengan kualitas sekolah.
Semestinya, Satriwan menegaskan, gaji guru honorer itu menjadi tanggung jawab pemerintah daerah melalui APBD. Gaji guru honorer bisa dari pemerintah pusat namun bukan melalui dana BOS.
"Inilah yang kami dorong, agar pemerintah daerah patuh kepada perintah UUD 1945 Pasal 31 tentang anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBD dan APBN," kata dia.