Rasanya sudah semua yang harus dilakukan oleh bu Nisa sebagai orang tua. Semuanya tabungan tabungan bu Nisa sampai habis untuk membiayai keinginan dirinya dan suaminya dalam rangka “mensolehkan” anak pertamanya. Anak pertama lelaki, yang disambut dengan sangat gembira dan diharapkan bisa meneruskan usaha ayah dan ibunya yaitu warung sate yang terkenal di daerah puncak bogor. Namun pada kenyataannya sang anak pertama, anak kedua, anak ketiga bahkan sampai anak ke empat keinginan untuk belajar dan beribadahnya sangat kurang, mungkin karena mereka terlalu dimanjakan.
Sudah dua kali anak sulungnya yang berbadan bongsor dimasukkan ke sebuah sekolah yang terkenal bagus dan mewah. Namun anaknya disekolah tersebut hanya menjadi trouble maker saja, maklum dalam dompetnya terdapat uang ratusan ribu yang mana dia bisa membeli apa saja yang diinginkan dan menjadi trend setter (trend yang diikuti oleh banyak anak remaja lain seusianya), yang rata-rata baru berusia 15 sampai 17 tahun.
Tidak sampai lulus dari sekolah yang bagus itu, maka bu Nisa memutuskan untuk memasukkan sang anak ke sebuah pesantren. Sampai 2 buah pesantren dengan fasilitas yang baik dan terbaikpun sudah dicoba sang anak namun hasilnya nihil. Bu Nisa kecewa, marah dan gusar. Harapannya agar sang anak mandiri, soleh, memiliki kemampuan akademik yang bagus dan dapat meneruskan usaha warung sate orangtuanya yang semakin membesar nampaknya tidak bisa terlaksana.
Kemarahan bu Nisa bercampur dengan kesedihan manakala anak kedua diketahui keluar dari sekolah dan sering bolos serta duduk-duduk di mall dengan kawan-kawannya dan baru kembali ke sekolah ketika jam sekolah usai. Sementara anak yang ketiga baru-baru ini diduga mengidap penyakit epilepsi (ayan) yang membuatnya suka terlihat kejang-kejang tanpa sebab diwaktu yang tidak dapat dipastikan. Sementara anak keempat diam-diam saja dan tidak menunjukkan prestasi apapun, walaupun sudah diberikan les-les penunjang untuk pelajaran akademik maupun non akademik, namun ketika diikutkan dalam lomba apapun, sikapnya malas-malasan dan tidak pernah menang bahkan untuk peringkat terendah sekalipun.
Namun anak bu Nisa yang kelima yang baru duduk di kelas 2 SD nampaknya berbeda dengan kakak-kakaknya. Hal ini Nampak dari kegemarannya mendengarkan murotal Al Qur’an sebelum tidur. Bahkan dikelasnya pun hafalan Al Qur’annya yang paling banyak dan dapat dibanggakan. Untuk nilai akademiknya alhamdulillah selalu menduduki peringkat satu, bahkan nilainya tertinggi di kelas 2 naik ke kelas 3. Anak yang kelima yang juga bungsu ini, walaupun tanpa disadari merupakan anak kesayangan, karena tingkah polahnya yang menyenangkan, taat juga lucu, tidak lekas membuat si bungsu sombong dan besar kepala dikarenakan perlakuan berbeda dari orangtuanya. Bahkan kakak-kakaknya pun semua menyayangi dirinya, kepandaiannya dalam bicara dan juga membuat orang yang memandang padanya menjadi senang, sungguh merupakan talenta yang luar biasa.
Bu Nisa tak perlu risau, tugas orang tua hanyalah berusaha saja memberikan pendidikan yang terbaik bagi anaknya dan juga mendidik anak-anak dengan segenap kemampuan yang ada. Dan pola pendidikan di dalam sebuah keluarga tidak bisa disamakan dengan keluarga yang lainnya. Teruskan saja apa yang dilakukan bu Nisa dengan sebaik-baiknya, namun bagaimana hasilnya, semua terserah pada Allah. Allah lah yang akan menentukan baik buruknya seorang anak, bukan tergantung dari usaha orang tua semata, namun ada faktor kuasa Allah disitu.
Lihatlah dari kisah nabi Yakub, bagaimana anak-anaknya banyak sekali dari istri pertama dan kedua yang semuanya berjumlah 12 orang, bahkan salah satu anak kesayangannya Yusuf, ketika masih kecil hingga remaja sampai usai dewasa tinggal jauh dari pengawasannya. Namun berkat doa yang tidak putus siang dan malam, maka sang anak selalu terjaga dari berbagai kemaksiatan. Terbukti pula bahwa walau anak-anak lainnya tidak begitu soleh, bahkan sempat merencanakan pembunuhan pada anaknya yang lain, yaitu Yusuf, namun nabi Yakub tetap mencintai semua anak-anaknya dan memperlakuakn mereka semua dengan baik.
Tidaklah sama nasib satu anak dengan yang lain, namun perlakuan kita pada semua anak haruslah sabar dan tetap mencintai, walau akhir dari kisah anak-anak kita berbeda, dengan kesolehan dan derajat kesuksesan yang berbeda-beda pula. Namun kita sebagai orang tua wajib memberikan pendidikan dan pemeliharaan yang terbaik bagi anak kita, tanpa putus asa.
Fifi P Jubilea
Founder and Conceptor of JISc, penulis artikel konsultasi pendidikan anak, remaja dan keluarga.
http://www.jakartaislamicschool.com