Rabu 30 Dec 2015 12:09 WIB

Pemilu dan Kepemimpinan Dalam Perspektif Keumatan

Siti Zuhro saat menyampaikan Orasi di Milad ke-60 Universitas Muhammadiyah Jakarta
Foto: Dok: UMJ
Siti Zuhro saat menyampaikan Orasi di Milad ke-60 Universitas Muhammadiyah Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, Belum lama ini, Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) menggelar perayaan puncak Milad ke-60.

Acara Milad juga diisi dengan Orasi Ilmiah oleh Prof. Dr. R. Siti Zuhro (Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang menyampaikan materi tentang 'Pemilu dan Kepemimpinan Dalam Perspektif Keumatan'.

Demikian orasi yang disampaikan: Pasca gerakan reformasi 1998, Indonesia memasuki era kehidupan kebangsaan yang demokratis dan terbuka. Era dimana rakyat memilih pemimpinnya secara langsung, baik dalam Pileg, Pilpres, maupun Pilkada. Tahun 1999 ditandai dengan Pileg demokratis yang Luber (langsung, umum, bebas dan rahasia) yang diikuti 48 partai politik.

Tahun 2004 untuk pertama kali diselenggarakan pilpres secara langsung. Tahun 2005 kepala daerah juga dipilih secara langsung. Sampai saat ini ada sekitar 1300 pilkada langsung di provinsi, kabupaten dan kota.

Pada 9 Desember lalu, pilkada serentak baru dilaksanakan di 264 kota. Pilpres dan pilkada adalah sarana demokratis untuk memilih pemimpin. Terlepas dari pro dan kontra tentang pemilihan langsung, ada optimisme untuk memperoleh pemimpin yang didambakan.

Optimisme tersebut setidaknya tampak dari kepercayaan rakyat pada Susilo Bambang Yudhoyono dalam dua kali pilpres dan keberhasilan Joko Widodo dalam Pilpres 2014.

Di tingkat lokal mulai tumbuh pemimpin-pemimpin yang mencerahkan, seperti pada sosok bu Tri Risma di Surabaya dan Nurdin Abdullah di Bantaeng.

Bahwa masih terdapat banyak kekurangannya tidak bisa dinafikan, karena kelahiran pemimpin yang ideal tak semudah membalik telapak tangan. Salah satunya memerlukan fondasi budaya kepemimpinan ideal. Harus diakui bahwa Indonesia memang masih mengalami krisis kepemimpinan yang ideal.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْ حَاۤجَّ اِبْرٰهٖمَ فِيْ رَبِّهٖٓ اَنْ اٰتٰىهُ اللّٰهُ الْمُلْكَ ۘ اِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّيَ الَّذِيْ يُحْيٖ وَيُمِيْتُۙ قَالَ اَنَا۠ اُحْيٖ وَاُمِيْتُ ۗ قَالَ اِبْرٰهٖمُ فَاِنَّ اللّٰهَ يَأْتِيْ بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِيْ كَفَرَ ۗوَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَۚ
Tidakkah kamu memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai Tuhannya, karena Allah telah memberinya kerajaan (kekuasaan). Ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” dia berkata, “Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata, “Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat.” Maka bingunglah orang yang kafir itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.

(QS. Al-Baqarah ayat 258)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement