REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr. Muhbib Abdul Wahab, MA, Dosen Pascasarjana Program Doktor Manajemen Pendidikan Islam UMJ dan FITK UIN Jakarta.
Perayaan tahun baru masehi atau miladiyyah (berdasarkan kelahiran Nabi Isa AS) dari tahun ke tahun cenderung penuh hura-hura dan huru-hara.
Budaya meniup terompet, menyalakan petasan, kembang api, dugem, teriak-teriak dalam pergantian baru, jelas bukan budaya Islam, tetapi budaya kontraproduktif yang tidak hanya merusak mentalitas generasi muda, tetapi juga cenderung menjerumuskan mereka ke dalam kemaksiatan atas nama “hedonisme tahunan”.
Tidak sedikit, pesta perayaan tahun baru dibarengi dengan meneggak minuman keras, pesta Narkoba, seks bebas, dan perilaku tidak terpuji lainnya. Dengan kata lain, budaya perayaan tahun baru yang banyak dilakukan oleh sebagian anak bangsa selama ini bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Budaya perayaan tahun baru merupakan budaya destruktif, kontraproduktif, materialistik, hedonistik. Selain itu, pesta perayaan tahun baru juga merupakan bentuk budaya tabdzir yang dilarang oleh Alquran. Betapa tidak boros, puluhan terompet, petasan, dan kembang api dibakar hanya untuk membuat bising dan gaduh.
Artinya, jika semua uang yang digunakan untuk membeli petasan, terompet, kembang api, dan sebagainya itu dikumpulkan, pasti berjumlah milyaran rupiah. Sementara uang sebanyak itu hanya dibakar sia-sia, tanpa berdaya guna sedikitpun. Bahkan dampak dari semua itu hanyalah mengganggu kenyamanan orang yang sedang beristirahat.
Oleh karena itu, budaya kontraproduktif itu harus dienyahkan. Paling tidak, setiap muslim harus mempunyai kesadaran baru bahwa merayakan pergantian tahun baru sesungguhnya merupakan berhala modern yang menyesatkan pola pikir dan pola hidup Muslim.