REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof. Dr. Syaiful Bakhri (Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta)
Beberapa dekade silam dunia hukum mendapat sebuah pencerahan berharga dari sebuah buku yang dituliskan oleh seorang guru besar hukum pidana yakni Prof. Mr. Roeslan Saleh yang berjudul “mengadili sebagai sebuah pergulatan kemanusiaan”.
Banyak hal yang menarik terurai dalam pesan buku tersebut bagi hakim yang disinari gagasan kembali bahwa mengadili tidak hanya sekedar mengadili sekedar kasus tetapi kemanusiaan termaktub didalamnya. Penilaian terhadap nilai-nilai kemanusiaan menjadi orbit yang harus diselami sebelum hakim memberikan suatu keputusan akan suatu perkara dihadapannya.
Mungkin, buku tersebut cocok untuk dijadikan pedoman atas fenomena kekinian mengenai mahkamah konstitusi yang memberikan putusan kalkulatik atas perkara yang seharusnya diberikan penilaian kualitatik.
Putusan yang tidak menerima perkara dikarenakan diterapkannya pasal-pasal yang memposisikan pengadilan sebagai 'bak sampah' organik menjadikan mahkamah konstitusi justru membenarkan posisi yang sebenarnya tidak pantas diemban mahkamah.
Peraturan perundang-undangan diamini membentuk beragam dimensi-dimensi dalam kehidupan nyata yang pada akhirnya akan membentuk dunia lain, yang dimaksudkan sebagai dunia yang seharusnya adalah ideal.
Lon F. Fuller dan Hans Kelsen sebagai sarjana mahsyur pun telah memberikan peringatan bahwa apabila dunia yang seharusnya, bukan dunia yang dapat memberikan jaminan keadilan, karena apabila yang keadilan dimaknai sebagai konsep peraturan perundang-undangan semata, maka hukum tidak mungkin salah, dan pengadilan tidak perlu ada.
Peraturan perundang-undangan yang didesain memang dihadapkan dengan konsep dunia nyata dimana dunia nyata tersebut memang membutuhkan ketertiban dan keteraturan.
Akan tetapi, seperti yang telah diingatkan Sartjipto Raharjo, jangan kaget apabila yang ditemukan adalah ketidak teraturan (disorder).
Mahkamah konstitusi sepatutnya mampu menilai bahwa peraturan perundang-undangan yang membatasi sekian persen maupun sekian hari dan jam yang dipergunakan untuk kepentingan administrasi perkara tidak perlu dijadikan sebagai fokus orbit pengambilan putusan yang bisa saja mematikan hak dan harapan pihak yang berupaya mencari keadilan.
Kualitas administrasi tidak pantas dijadikan sepenuhnya alasan untuk menghentikan proses pencarian keadilan yang diharapkan oleh semua Keterlambatan 7 menit, selisih lebih, 0,11 persen dalam perselisihan hasil pemilu tidak bisa sepenuhnya dianggap sebagai angka dalam bidang ilmu matematika semata, tetapi perlu dianggap sebagai fenomena sosial yang direpresentasikan dengan angka.
Sekarang dapat dibayangkan, apabila alasan tersebut dijadikan sebagai pusat dalil untuk menyatakan pengadilan tidak menerima perkara, maka pihak yang mengambil keuntungan atas hal tersebut cukup menciptakan pola kecurangan yang sebesar-besarnya untuk menyatakan bahwa pengadilan tidak bisa mengadilinya.
Sayang buku yang diuraikan oleh Prof Mr. Roeslan Saleh hadir jauh sebelum Mahkamah Konstitusi hadir, sehingga Mahkamah Konstitusi tidak menggunakan kacamata kemanusiaan untuk tidak hanya sekedar menggunakan dimensi ilusi yang diciptakan oleh peraturan perundang-undangan akan tetapi melihat kembali kedunia nyata dalam melihat wajah keadilan konstitusional seutuhnya.