REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat sampai kini belum memiliki pemahaman yang benar tentang ilmu dan profesi pekerjaan sosial. Tak mengherankan bila masih banyak orang yang salah dalam memahami pekerjaan sosial (social network). Masalah itu menjadi salah satu topik pemhasan dalam 2nd International Conference on Social Work (ICSW) yang digelar di kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Sabtu (29/2).
Hal itu terkait dengan UU nomor 14 tahun 2019 tentang pekerjaan sosial. Ketentuan tersebut mengatur tentang siap yang berhak disebut sebagai pekerja sosial, syarat pekerja sosial, kualifikasi hingga uji kompetensi yang harus diikutinya. "Menjadi pekerja sosial harus ada kualifikasi yang harus dilakuinya," kata Prof. Adi Fahrudin PhD, dosen konsentrasi Kesejahteraan Sosial UMJ disela kegiatan ICSW tersebut.
Menurutnya meski ada peraturan perundangan namun pekerja sosial memiliki dua tantangan utama. Pertama memperbaiki persepsi masyarakat tentang pekerjaan sosial itu sendiri, kedua kesiapan komunitas pekerjaan sosial itu sendiri dalam menunjukkan kinerjanya secara profesional.
UU nomor 14 tersebut mensyaratkan pekerja sosial harus seorang profesional, maka profesinya sama dengan dokter atau perawat. Namun kehadirannya belum banyak dirasakan masyarakat. "Ada aturannya, tapi pelaksanannya atau masyarakat belum bisa memahami dengan baik, dan pelaku profesinya belum meunjukkan kinerja yang sebagaimana seharusnya, itu tantangannya," tutur Adi.
Pihaknya berharap melalui konferensi ini akan terjadi peningkatan literasi dan pengetahuan atau kompetensi pekerja sosial. Hal itu bisa dirasakan melalui interaksi dengan pekerja sosial di berbagai negara. Dari pengalaman praktek mereka di lapangan akan terungkap apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan.
Di negara lain seperti Filipina peraturan tentang pekerja sosial sudah ada sejak 1976 dan sudah ada uji kompetensi. Demikian pula di negara Eropa atau AS yang lebih dahulu menerapkannya. Namun, di Malaysia dan Singapura peraturan sejenis belum ada. "Di kita pekerja sosial sama dengan relawan," kata Adi.
Jumlah peserta konferensi kedua ICSW tahun ini meningkat dari ICSW pertama tahun 2018 lalu. Tahun ini, abstract yg diterima panitia sebanyak 120 buah, berasal dari Yonsei University Korea, Hokkaido Jepang, India, Bangladesh, Vietnam, Filipina, Malaysia.
Dari Indonesia, peserta yg mengirimkan abstraknya adalah dari Univ Bengkulu, UI, UNRI, UIN Jakarta, kendari, UMY, UMM, hingga Uncen Papua. Bukan hanya peserta yg merupakan peneliti, dosen atau akademisi, ICSW kali ini sangat istimewa karena group mahasiswa dari Universitas Landshut Jerman, memeriahkan ICSW bersama juga rombongam para praktisi pekerja sosial dari rumah sakit di Malaysia.