REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sofiandy Zakaria*
Hegemoni Intelektual Pasca Kolonial
Andaikata bangsa Indonesia menjadi penjajah bangsa-bangsa di dunia, dipastikan bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional yang diberlakukan secara universal di semua perguruan tinggi. Sayang hal itu tidak terjadi dan tidak akan pernah terjadi, sehingga bahasa pengantar internasional di dunia perguruan tinggi, mau tidak mau, suka atau tidak suka harus bahasa Inggris.
Realitas ini menjadi salah satu alasan mengapa universitas-universitas yang dikategorikan kelas dunia didominasi oleh negara-negara di kawasan atau belahan dunia yang menggunakan bahasa pengantar akademiknya “ bahasa Inggris”. Penentuan kriteria untuk masuk dalam daftar rangking universitas kelas dunia pun dengan sendirinya mengandung bias yang tidak bisa terelakan.
Tiga tulisan karya Prof. CW Watson dari ITB sekaligus sebagai profesor emeritus Sekolah Antropologi dan Administrasi Universitas Kent,UK, di bawah judul asli “Does Indonesia need world-class universities?” dan Prof. Hafid Abbas dari Universitas Negeri Jakarta, mantan Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM , juga mantan konsultan UNESCO di wilayah Asia Pasifik dibawah judul “Compulsary reasearch publications for all students faces a long road” , dan tulisan karya Wahyudi Wibowo , dosen UPH Surabaya, peserta program doktor di Departemen The International Trade and Commerce Kyungsung University di bawah judul “Don’t push them all to be scientist”.
Ketiga tulisan tersebut dimuat secara bersamaan dalam harian The Jakarta Post tanggal 3 Maret 2012 , karena paket temanya terkait dengan issu kontroversial tentang “kewajiban pemuatan tulisan skripsi, tesis dan disertasi dalam jurnal ilmiah, baik lokal, nasional maupun internasional sesuai dengan program strata kesarjanaan yang ditempuh mahasiswa yang bersangkutan.
Indonesia memerlukan universitas-universitas kelas dunia?
Watson mengajukan pertanyaan “Apakah Indonesia memerlukan universitas-universitas kelas dunia?” Jawabannya tidak. Menurutnya yang diperlukan Indonesia adalah suatu sistem pendidikan tinggi yang terbaik atau unggul ( excellent ). Jawaban empatik ini nampaknya seperti paradoksal: unggul tapi tidak kelas dunia, tetapi kelas dunia tidak berarti terbaik.
Tentang hal ini beliau lebih jauh mengajukan beberapa argumen mendasar, bahwa kelas dunia berarti faktanya menunjukkan baik menurut kriteria tertentu yang ditetapkan oleh majalah Times Higher Education (THE) dan QS yang kedua-duanya secara teratur mempublikasikan daftar universitas yang termasuk rangking top dunia. Cara penentuan kriteria tersebut dianggapnya sebagai masalah besar dan ini alasan-alasan mendasar yang dikemukakannya:
Seleksi tentang kriteria, standard rangking yang ditetapkan. Sebagai contoh, salah satu kriterium pengeluaran biaya per mahasiswa: Akibatnya makin banyak uang yang dikeluarkan oleh suatu universitas bagi setiap mahasiswa untuk pendidikan dan peluang ekstrakurikuler, maka makin tinggi nilai tentang kriterium tersebut. Konsekuensinya, universitas-universitas yang memiliki yayasan paling kayalah, seperti Harvard, nilainya sangat tinggi. Apakah ini ukuran bagus tentang kualitas pendidikannya? Apakah yang harus dihitung jumlah uang atau kualitas pembelajaran dan pengajarannya?
Kriterium lain adalah jumlah staf pengajar dan mahasiswa luar negeri di suatu universitas. Lagi-lagi satu kriterium yang mengherankan. Mengapa tentang jumlah? Apakah kualitas pendidikan betul-betul dipengaruhi oleh jumlah staf pengajar dan mahasiswa luar negeri. Kriterium ini mengandung bias nyata universitas-universitas yang berorientasi Inggris. Akibatnya perpindahan mahasiswa dan staf pengajar secara global hanya dapat difasilitasi oleh ketersediaan suatu bahasa akademik universal, yaitu Inggris. Apakah ini berarti universitas-universitas di belahan dunia lain, seperti Cina dan Jepang, Mesir dan negara-negara timur tengah, Asia dan mungkin juga Indonesia yang menggunakan bahasa pengantar proses belajar mengajar dalam bahasa nasionalnya masing-masing, yang de facto staf pengajar dan mahasiswa luar negerinya lebih sedikit, tidak bisa sama baik atau unggul seperti universitas-universitas yang menggunakan bahasa pengantar Inggris ? Ini peringatan, bahkan pukulan terhadap upaya hegemoni intelektual pasca kolonial.
Kriterium Kontroversial
Ketika Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 27 Januari 2012 mengeluarkan surat edaran kepada semua Rektor dan Ketua Lembaga Pendidikan Tinggi, yang menyatakan mulai Agustus tahun ini semua mahasiswa yang menempuh program sarjana strata satu dan pasca sarjana harus mempublikasikan karya ilmiah mereka dalam jurnal akademik sebagai suatu syarat kelulusannya. Kebijakan ini telah menuai reaksi keras bukan kepalang, karena semua lulusan universitas dituntut harus mempublikasikan karya riset ilmiahnya sebelum mereka dinyatakan lulus. Sudah tentu ini tidak memecahkan masalah. Memang, bahwa hasil riset harus menjadi salah satu kriteria untuk membedakan antara pendidikan tinggi yang baik dalam hal riset dan universitas yang tidak baik adalah sangat masuk akal.
Prof Hafid Abbas sejalan dengan pandangan tersebut, bahwa siapa pun tidak dapat menolak kebijakan tersebut, tetapi kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus realistik dalam menentukan parameter dasar tentang lembaga pendidikan tinggi. Sebagai contoh ia mengutip harian Kompas 17 Februari 2010, yang mengungkapkan ada sekitar 6000 program studi yang tidak terakreditasi atau illegal, sekitar 50-60 persen dari semua tenaga pengajar di perguruan tinggi tidak qualified ( pendidikan sarjana strata satu ), dan hanya sekitar 6-7 persen dari 17000 -18000 program studi yang memperoleh akreditasi unggul. Program studi tersebut dikelola oleh dua kementerian, yaitu Kementerian Pendidikan dan kebudayaan, dan kementerian Agama. Jika Undang-Undang No 14/2005 tentang Guru dan Dosen dilaksanakan secara konsisten, maka 50-60 persen dari 233.000 dosen yang tersebar di semua lembaga pendidikan tinggi negeri dan swasta harus dipindahkan atau ditugaskan ulang menjadi guru sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.
Kondisi demikian, menurut Prof. Hafid, sangat mengkhawatirkan jika kebijakan wajib mempublikasikan karya akhir studi terhadap semua mahasiswa, karena bisa jadi dapat menimbulkan keresahan di antara 5 juta mahasiswa di dalam negeri. Tidak ada jalan lain yang harus ditempuh kecuali dengan pendekatan selangkah demi selangkah. Misalnya dimulai secara bertahap dari program doktor, kemudian program magister, dan terakhir untuk tingkat program sarjana strata satu.
Ia yakin, bahwa publikasi dapat menjadi kondisi dasar bagi karir dan promosi. Dengan demikian tradisi akademik yang kuat di setiap universitas dan lembaga pendidikan tinggi dapat dikembangkan. Di samping itu kementerian harus mengadopsi reformasi komprehensif dalam mengelola semua lembaga pendidikan tinggi, khususnya dalam hal pengembangan kurikulum dan metodologi pengajaran dan pembelajaran, yang dapat mendukung kreativitas budaya menulis.
Namun Prof Watson mengingatkan, bahwa evaluasi tentang riset adalah suatu ukuran yang bukan seberapa baik suatu universitas, tetapi seberapa baik lembaga risetnya. Universitas-universitas lebih dari hanya sekedar lembaga riset: Universitas adalah tempat untuk mendesiminasikan pengetahuan dan pelatihan mahasiswa sebagai spesialis keterampilan dan kemampuan.
Watson menawarkan usul simpatik: Jika Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi ingin memperbaiki kualitas riset seyogyanya memberikan dukungan nyata kepada individu-individu dan tim melalui sistem dewan riset dan menawarkan insentif yang tepat guna ( appropriate ). Dalam waktu yang bersamaan juga diusulkan perlunya membangun pusat-pusat riset yang unggul di universitas-universitas tertentu yang mengonsentrasikan pada sumber daya dan mempromosikan riset kualitas tertinggi.
Sementara itu Prof. Hafid Abbas menyatakan keprihatinannya, bahwa tren pusat-pusat unggulan menunjukkan adanya disorientasi. Ia memberi contoh, konsentrasi unggulan bidang pertambangan tidak relevan kalau adanya di UI, tetapi harus di universitas Cendrawasih. Begitu pula pusat unggulan bidang kelautan mestinya bukan di IPB , tapi di universitas Pattimura. Bahkan ia menyayangkan adanya disorientasi Universitas Islam Negeri yang tidak lagi konsentrasi pada bidang pendidikan keagamaan seperti ketika masih bernama IAIN. Menurut Wahyudi Wibowo, aturan baru Dirjen Dikti tentang kewajiban mempublikasikan karya akhir di jurnal ilmiah menjadi syarat kelulusan mengandung dua kekurangan dalam berpikir.
Yang pertama, regulasi tersebut menganggap, bahwa tujuan pendidikan tinggi untuk menghasilkan hanya para ilmuwan. Kedua, jumlah yang lebih besar dari tulisan ilmiah yang dihasilkan oleh universitas akan menimbulkan kemajuan yang lebih baik dalam pembangunan ekonomi. Profesor, dosen dan mahasiswa melakukan riset, tetapi universitas sesungguhnya mempunyai misi lain, yaitu mendidik mahasiswa dengan pengetahuan esensial dan untuk melatih mereka menjadi mampu berpikir dalam cara ilmiah. Bukan semua didorong untuk menjadi ilmuwan.
Mengapa Indonesia dan negara-negara lain tidak menunjukkan baik dalam tabel liga dunia universitas dan merasa begitu perlu memperbaiki rangking dan posisinya? Alasannya menurut Watson, pasti adalah kebanggaan dan prestise nasional. Ia menegaskan, bahwa hakekat sistem pendidikan tinggi nasional harus tidak ditentukan oleh strategi dan berupaya untuk memperbaiki rating demi kebanggaan nasional. Akan tetapi harus ditentukan oleh kebutuhan dan tuntutan negara dan ketersediaan sumber daya. Kebutuhan Indonesia adalah jelas; membutuhkan angkatan kerja terdidik untuk mengembangkan sumber daya alamnya dan memperluas ekonominya untuk meningkatkan standar kesejahteraan, dalam rangka memperbaiki kualitas kehidupan bagi semua warga negaranya. (adv)
*Penulis adalah: Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP-UMJ
e-mail: [email protected]