REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sofiandy Zakaria*
Judul tulisan ini dikutip dari salah satu bait lirik Lagu lagendaris tahun 60-an ”The Sounds of Silence” dari penyanyi Amerika: Simon and Garfunkel, yang diabadikan oleh Scott M.Cutlip, Allen H. Center dan Glenn M. Broom dalam bukunya “Effective Public Relations” dan sudah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit PT Gramedia dan mengalami cetak ulang berkali-kali.
Sempalan lirik lagu tersebut aslinya berbunyi: “People talking without speaking, people hearing without listening” (Cutlip dkk, 1985: hal 275) mencerminkan komunikasi krusial manusia dewasa ini. Cutlip dkk mengutip lirik lagu tersebut agaknya ingin menekankan kepada kita, bahwa persoalan mendasar tentang pesan yang dikomunikasikan manusia ada pada manusia itu sendiri, baik komunikator maupun komunikan. Kemampuan komunikasi manusia terletak pada berbicara (speaking) bukan hanya berucap atau omong doang (talking only) dan bukan pula hanya mendengar (hearing) tapi harus mendengarkan (listening).
Berbicara (speaking) menuntut perencanaan isi pesan yang akan disampaikan, yang meliputi penguasaan substansi, cara penyampaian, termasuk media yang akan digunakan, dan pemahaman audiens, khalayak atau publik yang dituju. Begitu pula halnya dengan seseorang yang mendengarkan (listening), sangat berbeda dengan seseorang yang hanya mendengar (hearing). Secara psikologis peristiwa mendengarkan memiliki tingkat atensi dan intensi serta motivasi tertentu, karena stimulus yang menerpa indra pendengaran kemudian diteruskan ke otak untuk diolah dan disimpan menjadi suatu pengertian, pengetahuan dan pengalaman tertentu pula.
Kredibilitas komunikator selain harus mampu berbicara dan mendengarkan, juga dituntut memiliki dua nilai utama, yaitu kemampuan terutama dalam menguasai isi pesan atau informasi, dan dapat dipercaya orang lain atau terpercaya (trustworthy). Dewasa ini banyak orang yang mampu menguasai pesan dalam bidangnya (kompeten), tapi tidak bisa dipercaya oleh publiknya.
Kepercayaan (trust) terhadap komunikator hanya akan terjadi, apabila komunikator berlaku jujur atau dikenal sebagai jujur oleh komunikannya. Komunikasi sebagai perilaku sosial menuntut sikap jujur komunikator, agar ia tidak ditinggalkan pengikutnya. Aspek kejujuran akhir-akhir ini menjadi barang langka, karena banyak orang menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan, tanpa menghiraukan prinsip kebenaran dan etika sebagai landasan perilakunya.
Komunikasi dikatakan bertanggung jawab secara sosial dan etikal, menurut James Payne (2001) dalam bukunya Applications: Communication for Personal and Professional Contexts , selain mengandung aspek jujur, harus memiliki karakteristik sopan, saling (mutual), mengubah kehidupan, dan membantu. Secara berturut-turut karakteristik tersebut berimplikasi kepada komunikator untuk menghormati perasaan orang lain, mendengarkan dan menjawab, mempertimbangkan efek komunikasi, dan memungkinkan orang lain menjadi lebih baik secara personal dan profesional.
Pembelajaran Kasus Rencana Kenaikan BBM
Komunikasi pemerintah tentang kebijakan rencana kenaikan BBM, tadinya mengesankan percaya diri, tapi ternyata berantakan ketika harus menghadapi kenyataan protes yang dimotori oleh partai oposisi PDIP dan sikap baru dari Partai Golkar dan PKS yang notabene adalah kawan-kawannya sendiri dalam koalisi partai pendukung Presiden Susilo Bambang Yudoyono dan Wakil Presiden Boediono. (Kompas 30-3-2012). Partai-partai “pembangkang” dan oposisi seolah berpihak kepada kepentingan masyarakat yang diwakili para demonstran.
Jajak pendapat yang dilakukan harian Kompas (Kompas 2/4/2012 ) tentang evaluasi terhadap kebijakan BBM, sebagian besar responden ( N=711) berkisar antara 68,8 dan 75,2 % menyatakan tidak puas terhadap pemerintah dalam mengendalian stabilitas harga bahan pokok/sembako, mengatasi kelangkaan BBM dan kasus penyelundupan BBM di sejumlah wilayah, menjamin ketersediaan dan harga BBM yang terjangkau rakyat banyak, dan mengelola kebijakan energi (minyak bumi) nasional. Adagium politik klasik untuk kesekian kali menegaskan kepada kita, bahwa dalam politik tiada lawan dan kawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan abadi (Tajuk Rencana Kompas 23/3/2012 berjudul Demokrat Ditinggalkan).
Lepas dari persoalan politik, kegagalan komunikasi pemerintah tentang kebijakan rencana kenaikan harga BBM jelas menggambarkan adanya kesenjangan antara posisi komunikator (pemerintah atau penguasa) dan sikap khalayak (rakyat) selama ini. Pemerintah di satu sisi tidak mampu lagi meyakinkan masyarakat, karena dalam hal penegakan hukum selama ini secara demonstratif seringkali menunjukkan sikap tidak jujur, tidak adil dan menimbulkan perasaan sakit hati terutama di kalangan akar rumput. Kondisi ini dengan sendirinya menjadi lahan subur untuk dimanfaatkan oleh lawan-lawan politik partai penguasa dan pemerintah sekarang ini.
* Penulis: Dosen Prodi Ilmu Komunikasi/ Ketua Pusat Kajian dan Pelatihan Komunikasi Massa FISIP UMJ