REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Federasi Palang Merah Internasional mencatat sekitar 76 orang tewas dalam banjir besar di wilayah Korea Utara. Jumlah itu juga sama besarnya dengan orang yang hilang. Selain itu, ribuan warga lainnya terpaksa harus kehilangan tempat tinggal mereka.
Relawan Palang Merah Korea Utara masih terus melakukan operasi pencarian dan penyelamatan di Provinsi Hwanghae Utara dan Hwanghae Selatan. Dua wilayah itu disebut-sebut mengalami hujan lebat sejak 28 Agustus 2018 silam. Banyak anak-anak dilaporkan menjadi korban hilang.
"Hujan lebat dalam beberapa hari terakhir ini memicu banjir besar dan tanah longsor di daerah dataran rendah, menghancurkan lebih dari 800 bangunan termasuk rumah, klinik dan sekolah," kata salah seorang perwakilan Federasi Palang Merah Internasional yang datang ke Jenewa, kemarin.
Komunitas Palang Marah Masyarakat Korea Utara, ikut memberikan bantuan dan menyebarkan instalasi pengolahan air. “Ribuan orang kehilangan rumah mereka dan sangat membutuhkan layanan kesehatan, tempat tinggal, makanan, air minum yang aman dan sanitasi,” kata perwakilan Federasi Palang Merah Internasional, John Fleming, dari kantor pusat.
Kekeringan dan banjir telah lama menjadi ancaman musiman di Korea Utara, sebagai negara yang tidak memiliki sistem irigasi dan infrastruktur lain untuk menangkal bencana alam.
Sebulan lalu, petugas telah memperingatkan bahwa gelombang panas di Korea Utara menjadi penyebab beras, jagung dan tanaman lainnya layu di ladang. Hal itu menempatkan negara pada risiko krisis keamanan pangan secara menyeluruh. Daerah yang terkena dampak kekeringan adalah provinsi Hamgyong Selatan dan Pyongan Selatan.
"Kejadian cuaca ekstrem lebih sering terjadi," kata juru bicara Federasi Palang Merah Internasional, Laura Ngo-Fontaine.