REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) meminta pemerintah mempertimbangkan ulang sanksi dan pemberlakuan aturan membawa hasil ekspor ke bank dalam negeri. Direktur Eksekutif APBI, Hendra Sinadia menilai, hal ini perlu dipertimbangkan ulang mengingat banyak perusahaan pertambangan yang juga memiliki kesepakatan dengan investor asing.
Hendra menjelaskan, secara moral, perusahaan mendukung penuh rencana pemerintah untuk mewajibkan perusahaan tambang membawa hasil ekspornya ke perbankan dalam negeri. Hendra menjelaskan, beberapa perusahaan pun sudah melakukan hal ini.
Hanya saja, kata Hendra tak sedikit dari perusahaan sudah lebih dulu mempunyai kesepakatan dengan investor asing. "Kita dorong segera memang. Tapi case kan, ada perusahaan yang sudah lakukan negoisasi dengan buyer, dan memakai metode selain LC, dan bagiamana soal financing agreement dengan lender, yang harus menggunakan bank tertentu. Ini perlu dipertimbangkan agar perusahaan itu tidak dianggap default," ujar Hendra saat dihubungi, Jumat (7/9).
Hendra menjelaskan tak sedikit dari perusahaan saat diminta pemerintah untuk menggenjot ekspor melakukan financing agreement dengan investor asing untuk tambahan modal. Kerapkali dalam perjanjian financing ini, investor meminta transaksi yang dipakai melibatkan bank asing.
"Kebanyakan dari lender ini kan dari luar. Apalagi, misalnya Jepang, Cina apa ya. Nah ini kan dalam syarat lender kan, kebanyakan menggunakan bank asing dalam syaratnya," ujar Hendra.
Hendra kemudian mempertanyakan hal ini kepada pemerintah. "Nah, itu yang sudah terlanjur existing ini lalu bagaimana?," ujar Hendra.
Hendra menilai, pemerintah sebaiknya memberikan waktu yang cukup untuk para perusahaan ini agar bisa menyesuaikan kesepakatan yang ada dengan aturan pemerintah. "Terutama, kita musti diberikan waktu yang cukup, paling tidak setahun. Kita concern ini di sanksi. Karena ini kan sanksi khwatirnya, bahkan ada rencana produksi dikurangi, izin dicabut. Ini yang tentunya, perlu dipertimbangkan lagi," ujar Hendra.