REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menyampaikan, momen tahun baru Hijriah 1440 H semestinya disambut dengan semangat baru. Semangat baru tersebut akan muncul setelah melakukan muhasabah dan evaluasi diri.
Ketua PP Muhammadiyah, Yunahar Ilyas mengutip ayat Alquran, "ya ayyuhal ladzina amanut taqullaha wal-tandhur nafsum ma qoddamat lighod wattaqullah". Artinya: "Hai orang-orang beriman bertakwalah kamu kepada Allah, setiap orang melihat apa yang sudah dilakukan kemarin untuk esok harinya."
"Kita evaluasi diri kita selama satu tahun kebelakang dengan dasar takwa, dalam ayatnya diperintahkan begitu," kata Yunahar kepada Republika, Ahad (9/9).
Ia menerangkan, dalam ayat tersebut diawali dengan perintah takwa dan ditutup dengan perintah takwa. Ayat itu menunjukan ukuran atau barometer. Evaluasi juga harus ada ukurannya, dalam hal ini ketakwaan menjadi ukurannya.
Saat muhasabah, iman, Islam, ikhsan, hubungan dengan keluarga, tetangga dan masyarakat harus direnungkan. Setelah melakukan muhasabah baru menentukan apa yang akan dilakukan kedepannya.
"Sesuatu yang sudah baik kita tingkatkan, yang buruk kita perbaiki, hal ini berlaku juga bagi kelompok, organisasi, partai politik semua harus melakukan muhasabah," ujarnya.
Menurutnya, lembaga, organisasi dan partai politik juga harus melakukan evaluasi di momen tahun baru Hijriah ini. Evaluasi berapa banyak kader partai politiknya yang dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pada momen tahun baru Hijriah ini, Yunahar juga mengingatkan, yang perlu dikuatkan umat Islam di tahun yang akan datang adalah kebersamaan dan persaudaraan. Perbedaan-perbedaan di dalam paham agama selama masih berpegang pada Alquran dan Rasul, masih mengikuti yang diajarkan Rasulullah serta para sahabat itu semua tidak masalah. Kalaupun ada perbedaan-perbedaan itu hanya ikhtilaf atau perbedaan pendapat.
"Tapi kalau sudah menyimpang keluar dari sunah, keluar dari apa yang diajarkan nabi itu namanya penyimpangan, penyimpangan memang ada di Indonesia tapi tidak banyak," jelasnya.
Dia menjelaskan, meski berbeda lembaga, organisasi masyarakat (ormas) Islam dan pilihan politik, tetap harus ingat semuanya juga umat Islam. Artinya semuanya bersaudara. Sesama umat Islam jangan saling menafikan, mencaci dan menjelekkan satu sama lain. Justru umat Islam harus menjaga kebersamaan dan persaudaraan. Mari bersama-sama bekerja dalam hal-hal yang sama atau sepakat. Mari saling memaafkan dalam hal-hal yang berbeda.
Saat ini, Bangsa Indonesia memasuki tahun politik karena akan melaksanakan pemilihan umum (pemilu). PP Muhammadiyah mengingatkan kembali masyarakat agar mengembalikan makna dasar pemilu, yakni pesta demokrasi.
"Ibarat sebuah pesta, pemilihan umum pemilihan presiden, pemilihan anggota legislatif itu kan pesta demokrasi yang rutin, seperti orang pesta pakai pakaian bagus, makanan yang enak, gembira, bertemu dan bertegur sapa," ujarnya.
Ia menegaskan, jadi semangat pesta harus dipertahankan karena berbeda pilihan politik itu hal biasa. Jangan sampai sebuah pesta berubah menjadi huru-hara. Oleh karena itu masyarakat Indonesia harus bisa saling menghormati.
Ketua Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU), KH Marsudi Syuhud berpandangan, momen tahun baru Hijriah merupakan momen untuk hijrah. Hijriah sesuai namanya yang artinya umat Islam harus hijrah dari yang tidak baik menjadi baik.
Dia menerangkan, dalam kehidupan sehari-hari, orang yang biasanya bicara tanpa data harus hijrah agar kedepannya bicara berdasarkan data. Orang yang biasa menggunjing juga harus hijrah agar kedepannya bisa berkata yang baik-baik saja.
"Hijrah dari perbuatan kemungkaran menjadi ma'ruf," ujarnya.
Di momen tahun baru Hijriah, PBNU juga mengingatkan umat Islam agar kedepannya semakin menguatkan ukhuwah wathoniyah. Tapi yang paling penting kedepannya umat Islam harus menguatkan ukhuwah Islamiyah. KH Marsud menjelaskan, biasanya hanya karena berbeda pilihan saja antarumat Islam jadi terasa jauh.
"Kadang-kadang hanya beda pilihan saja rasanya seperti jauh, beda minuman saja kaya bukan teman, beda makan saja rasanya kaya orang lain, padahal wudhunya sama, Al-Fatihah sama, Alqurannya sama, terus persoalan lauk pauknya beda itu biasa saja," jelasnya.
Oleh karena itu, KH Marsudi menegaskan ke depannya umat Islam harus menguatkan lagi ukhuwah Islamiyah. Umat Islam jangan mempersoalkan perbedaan yang kecil karena perbedaan itu ibarat orang yang senang minum kopi dan teh.
Ia pun beramsal, orang yang senang minum kopi menjelekkan orang yang minum teh. Orang yang senang minum teh menjelekkan orang yang minum kopi. Padahal, semua hanya persoalan senang dan tidak senang saja. Itu hanya perbedaan furu'iyah, bukan perbedaan ushul (prinsip).
"Jadi saya harapkan kopinya disruput dengan nikmat, tehnya diseruput dengan nikmat, antara kopi dan teh nyruput satu meja dengan ketawa dan senyum-senyum begitu yang saya harapkan," ujarnya.