REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia terus berupaya menarik investasi Korea Selatan (Korsel) di sektor industri manufaktur. Langkah strategis ini bertujuan untuk memperdalam struktur industri manufaktur nasional agar lebih berdaya saing di kancah global.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menjelaskan, menarik investasi merupakan salah satu program prioritas dalam peta jalan Making Indonesia 4.0. Upaya strategis ini dilakukan pemerintah melalui pertemuan Presiden Joko Widodo dan Airlangga dengan empat pimpinan perusahaan besar Korsel di Seoul, Senin (10/9) pagi.
"Di dalam pertemuan itu, yang dibicarakan mengenai peningkatan investasi dan perkembangan investasi yang sedang berjalan," ujar Airlangga dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Senin.
Keempat pelaku industri dari Negeri Ginseng tersebut adalah Chairman Cheil Jedang (CJ) Group Lee Jae-hyun, Vice Chairman Lotte Group Hwang Kag-gyu, CEO Posco Oh-Joon Kwon, dan Vice Chairman Hyundai Group Chung Ei-sun.
Salah satu bentuk investasi Korsel adalah melalui CJ Group yang sudah memiliki pabrik di Pasuruan dan Jombang, Jawa Timur. CJ Group sendiri adalah produsen monosodium glutamate (MSG), lysine, hingga pakan ternak. Sepanjang tahun 2011-2015, perusahaan bio itu telah menanamkan investasinya mencapai 500 juta dolar AS.
Kemudian, Lotte Group sedang membangun pabrik petrokimia dengan nilai investasi sebesar 4 miliar dolar AS di Cilegon, Banten. Perusahaan ini akan memproduksi naphtha cracker dengan total kapasitas sebanyak dua juta ton per tahun.
Bahan baku kimia tersebut diperlukan untuk menghasilkan ethylene, propylene dan produk turunan lain, sehingga nantinya kita tidak perlu lagi impor. Rencananya, proyek ini akan membuka lapangan pekerjaan sebanyak 9.000 orang.
Untuk Hyundai, mereka sudah menandatangani MoU mengenai rencana investasinya. Sementara itu, Posco melanjutkan percepatan pembangunan proyek klaster 10 juta ton baja di Cilegon yang diperkirakan tercapai pada tahun 2025. "Jadi, semuanya memastikan komitmen mereka untuk tetap investasi di Indonesia," ucap Airlangga.
Pemerintah Indonesia bertekad menciptakan iklim bisnis yang kondusif serta memberi kemudahan dalam perizinan usaha. Selain untuk menarik investasi lebih banyak, iklim kondusif dibutuhkan mengingat Korsel sudah punya kebijakan yang disebut New Southern Policy. Kebijakan sebagai tindak lanjut dari kunjungan Presiden Moon Jae-in ke Indonesia pada tahun lalu.
Airlangga mencatat, potensi perdagangan kedua negara sangat besar. Tahun 2017, neraca perdagangan RI-Korsel mengalami surplus sebesar 78 juta dolar AS dari total nilai perdagangan yang mencapai 17 miliar dolar AS. Diproyeksi nilai perdagangan kedua negara semakin meningkat dengan target sebesar 30 miliar dolar AS tahun 2022.