REPUBLIKA.CO.ID, KULONPROGO -- Masalah penambang pasir di sekitaran Sungai Progo ternyata belum berakhir. Setelah ratusan penambang pasir rakyat berunjuk rasa, ada tudingan kalau Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak membiarkan alat-alat besar beroperasi.
Kisruh penambang pasir di sepanjang Sungai Progo memang sudah berlangsung cukup lama. Di satu sisi, banyak penambang rakyat yang beraktivitas secara ilegal, di satu sisi, ada alat-alat berat yang diizinkan beroperasi.
Dinilai secara awam, tentu mereka-mereka yang berseteru memiliki kesalahan masing-masing. Sayangnya, belum ada pihak-pihak yang berinisiatif melakukan penyelesaian, termasuk Balai Besar Wilayah Sungai (BWWS) Serayu Opak.
Padahal, BBWS Serayu Opak inilah yang menjadi elemen penting terjadinya aktivitas penambangan pasir di Sungai Progo. Baik oleh penambang-penambang rakyat, maupun perusahaan-perusahaan besar.
Sempat melakukan audiensi, baik Kelompok Penambang Progo (KPP) maupun BBWS Serayu Opak, ternyata tidak membahas tudingan tersebut. Mereka hanya bertemu untuk membahas izin-izin yang diajukan penambang rakyat.
Republika sempat melakukan wawancara eksklusif kepada Ketua KPP, Yunianto, ketika melakukan aksi unjuk rasa di BBWS Serayu Opak. Ia menilai, tuntutan yang disuarakan teman-teman penambang rakyat sebenarnya tidak macam-macam.
"Kita menuntut normatif saja, kita heran kok alat-alat mesin yang raksasa bisa diberikan rekomendasi teknis (rekomtek), kok alat-alat kecil penambang rakyat yang sesuai PP malah mereka takuti," kata Yunianto.
Dari sana, penambang-penambang rakyat yang tergabung di KKP menduga ada permainan yang dilakukan BBWS Serayu Opak. Terlebih, beberapa kali aksi unjuk rasa, BBWS Serayu Opak sulit memberikan jawaban pasti.
Yunianto sempat menunjukkan foto alat-alat besar yang beroperasi di sekitaran Sungai Progo, yang diduga berasal dari perusahaan-perusahaan besar. Padahal, ia merasa, alat-alat besar tidak sesuai peraturan yang ada.
"Kongkalikong kapitalis-kapitalis dengan BBWS Serayu Opak dengan dalih normalisasi, kami tidak bodoh, itu bukan normalisasi," ujar Yunianto.
Untuk mengkonfirmasi tudingan-tudingan itu, Republika mencoba meghubungi Keala BBWS Serayu Opak melalui sambungan telfon. Pasalnya, sejak beberapa hari kerja yang bersangkutan disebut berada di luar kota.
Sayangnya, sejak Senin (10/9) hingga Rabu (12/9), Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak, Tri Bayu, belum mau mengkonfirmasi. Padahal, yang bersangkutan sempat disambungkan dengan pengunjuk rasa pada Senin tersebut.
Hal itu diungkapkan Kepala Seksi Pelaksanaan Bidang Operasi dan Pemeliharaan BBWS Serayu Opak, Rusdiyansyah. Tapi, ia memastikan, BBWS Serayu Opak sudah memberikan kejelasan kepada penambang-penambang rakyat yang berunjuk rasa.
"Prinsipnya, sesuai PP 23 tentang Minerba itu, masalah penggunaan pompa mekanik yang kapasitasnya maksimum 25PK itu disetujui," kata Rusdi.
Tapi, lanjut Rusdi, pendelegasiannya harus menunggu revisi surat edaran dari Dirjen SDA. Agar masyarakat tidak kebingungan, BBWS Serayu Opak memberikan semacam kejelasan pasti apa yang mereka harapkan disetujui.
Ia menjelaskan, sekarang ini penambang-penambang rakyat sekitaran Sungai Progo sebenarnya sudah mengajukan permohonan rekomendasi teknis secara resmi. Namun, masih banyak kekurangan-kekurangan yang belum dipenuhi.
Saat ini, penambang-penambang harus melengkapi persyaratan administrasi untuk pemenuhan kebutuhan rekomendasi teknis. Setelah itu, disampaikan lagi ke KP2TSP DIY, dan segera mengembalikannya ke BBWS Serayu Opak.
"Dan Balai Besar (BBWS Serayu Opak) akan segera memproses apa yang dimohonkan penambang-penambang manual, khususnya di Kabupaten Kulonprogo," ujar Rusdi.
Rusdi menekankan, BBWS Serayu Opak hanya merupakan salah satu penerbit surat rekomendasi teknis. Tiga lembaga penerbit lain yaitu Kementerian ESDM, Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD), dan Kementerian Lingkungan Hidup.
Tuntutan sendiri berisikan penggunaan pompa mekanik mengingat di Sungai Progo yang airnya dalam, penambangan manual yang tidak menggunakan pompa akan jadi kesulitan saat mengambil pasir.
"Nanti kalau kelengkapannya dipenuhi, masuk ke kami lagi, kami akan proses itu dan kami akan lihat apakah pemohon mengajukan pompa mekanik atau tidak, kalau tidak ya tidak kami berikan, yang kemi berikan yang sudah mengajukan," kata Rusdi.
Sejauh ini, setidaknya ada 18 kelompok penambang manual yang sudah meminta atau mengajukan permohonan rekomendasi teknis. Rata-rata permohonan yang diajukan sekitar 2.000 meter persegi.
Jika yang diajukan lebih dari 2.000 meter persegi, itu berarti penambang memerlukan surat Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup atau UKL-UPL.
Tapi, jika yang diajukan tidak lebih dari 1.000 meter persegi, penambang sebenarnya sudah cukup melengkapi dengan dokumen Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup atau SPPL.
Penambang rakyat yang tergabung di Kelompok Penambang Progo (KPP) sendiri sejauh ini totalnya mencapai 98 kelompok. Tapi, realitanya, yang sudah mengajukan izin secara kolektif baru ada 46 kelompok.
Sekitar 450 penambang melakukan aksi unjuk rasa ke BBWS Serayu Opak pada Senin lalu. Walau mendapat kepastian soal izin-izin melakukan aktivitas, mereka masih menduga ada permainan dengan diizinkannya alat-alat besar beroperasi di Sungai Progo.