REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perang tagar dinilai sebagai gerakan para pendukung yang lebih menonjolkan sentimen emosional dan membuat kegaduhan di ruang publik. Pagar tagar yang dimaksud, yakni #2019GantiPresiden dan #2019TetapJokowi.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan gerakan yang memunculkan tagar tersebut sudah muncul ke ruang publik saat masa kampanye belum tiba. Ia mengatakan tagar menyuarakan wacana-wacana yang menonjolkan sentimen emosional.
"Gerakan ini tidak mendidik dan membuat kegaduhan," katanya pada diskusi "#2019GantiPresiden Makar atau Bukan" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Rabu (12/9).
Titi menegaskan, kemunculan #2019GantiPresiden yang disusul dengan #2019TetapJokowi menjadi kontroversial dan mengundang pro-kontra di tengah masyarakat. Gerakan tagar tersebut, kata dia, telah menimbulkan polemik, apakah makar atau bukan.
"Tagar-tegar tersebut sentimennya negatif, karena dibawa pada orang, yakni mendukung orang secara personal," katanya.
Baca Juga: LSI: Gerakan #2019GantiPresiden Untungkan PKS, Tetapi...
Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Yarsi Jakarta ini menyayangkan kehadiran kedua gerakan tagar tersebut. Sebab, gerakan itu hanya menyuarakan ajakan tanpa adanya konsep maupun visi dan misi pasangan calon.
Di sisi lain, Titi juga melihat munculnya tagar tersebut, salah satunya adalah adanya ambang batas pemilihan presiden sesuai aturan dalam pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Melalui gerakan tagar tersebut, menurut Titi, lebih memudahkan untuk membedakan mana kelompok pendukung pasangan calon presiden yang satu dan yang lainnya.
Jejak #2019GantiPresiden.