REPUBLIKA.CO.ID, Secara resmi, Partai Demokrat adalah pendukung pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Namun, Partai Demokrat juga mengeluarkan kebijakan dispensasi bagi kader yang ingin mendukung pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin.
Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Adjie Alfaraby menilai, politik 'dua kaki' yang dilakukan Partai Demokrat itu malah akan menggerus elektabilitas partai. Pasalnya, sentimen yang muncul di masyarakat justru menegasikan partai yang dipimpin Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu.
"Isu dua kaki itu akan merugikan Demokrat karena sentimennya negatif," kata dia, di kantor LSI, Jakarta Timur, Rabu (12/9).
Sebagai partai yang secara resmi mendukung pencalonan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Partai Demokrat seharusnya lebih optimal dalam mendukung pasangan itu. Adjie menilai, efek elektoral yang paling realistis untuk didapat adalah dari pencalonan Prabowo-Sandiaga.
Menurut dia, dukungan Partai Demokrat yang tidak optimal membuat coattail effect (efek ekor jas) pencapresan Prabowo-Sandiaga saat ini dimonopoli oleh Partai Gerindra. Namun, jika tokoh-tokoh Demokrat turun ke bawah untuk kampanye Prabowo-Sandiaga, akan menguntungkan Partai Demokrat.
"Karena pileg dan pilpres kan serentak ya. Ketika mereka pilih Prabowo, ada kemungkinan mereka (pemilih) pilih demokrat dibanding dua kaki di koalisi Joko Widodo (Jokowi)," kata dia.
Lagi pula, kata dia, dukungan kepada Jokowi tidak akan berdampak untuk perolehan elektroral pada Demokrat. Pasalnya, sosok Jokowi telah kuat terasosiasi dengan PDIP. Selain PDIP, delapan partai Koalisi Indonesia Kerja (KIK) juga berharap efek elektoral dari pencapresan Jokowi.
Menurut dia, sikap Partai Demokrat saat ini menunjukkan inkonsistensi partai. Sikap ragu-ragu itu, kata dia, justru merusak nama Partai Demokrat.
"Jadi, harusnya mereka konsisten, misal, AHY turun berkampanye untuk Prabowo-Sandiaga. Itu akan menguntungkan Demokrat karena orang yang memilih Prabowo-Sandiaga melihat bahwa Demokrat bagian dari koalisi," ujar dia.
Adjie menambahkan, seharusnya Partai Demokrat tegas menindak kadernya yang tidak mengikuti keputusan dewan pimpinan pusat (DPP). Lagi pula, suara dari kader di daerah tak akan banyak membantu suara nasional Partai Demokrat.
Berdasarkan survei LSI pada Agustus 2018, elektabilitas Partai Demokrat hanya mencapai 5,4 persen. Angka itu turun sekitar 50 persen dari perolehan suara Partai Demokrat pada Pemilu 2014 yang mencapai 10,19 persen.
Hal senada diungkapkan oleh pengamat politik, Pangi Syarwi Chaniago. Ia menilai, manuver sebagian kader Partai Demokrat yang secara terang-terangan 'melawan' instruksi keputusan Mejelis Tinggi partai demokrat (MTP), tanggal 10 Agustus 2018 dengan mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin menunjukkan adanya 'bau amis' tak sedap bahwa Demokrat tidak sepenuh hati (all out) mendukung pasangan Prabowo-Sandiaga Uno.
Apalagi tradisi haluan politik Partai Demokrat terbiasa menjadi pemain tengah, pada Pilpres 2014 misalnya, stempel sebagai 'partai penyeimbang' masih melekat di partai tersebut. Menurut Pangi, pertanyaan sederhananya, Demokrat mendapatkan keuntungan apa dengan memainkan peran main dua kaki selama ini? Justru sintemen negatif yang didapat, terkesan menjadi partai pragmatis.
"Dagelan politik yang tidak elok dipertontonkan, seolah-olah mendapat sinyal restu dengan sikap diamnya SBY sebagai pimpinan partai. SBY mengamini sikap petualang politik kader itu," jelas Pangi dalam saat dikonfirmasi, Selasa (11/9).
Pangi melanjutkan, buruknya manajemen partai ini membuat kader partai tidak disiplin dan loyal secara organisasi. Sehingga, tingkat kepatuhan dan ketaatan pada keputusan partai menjadi sangat rendah. Padahal, kunci maju atau tidaknya sebuah partai sangat bergantung seberapa tinggi level kedisiplinan dan loyalitas kader partai tersebut.
Kemudian perbedaan pandangan pada dasarnya adalah suatu hal yang lumrah dalam sebuah organisasi. Namun, jika perbedaan ini sudah dikelola dalam mekanisme internal dan telah melahirkan sebuah keputusan (decision making) sudah seharusnya para kader partai satu suara dan solid memperjuangkan keputusan tersebut.
"Artinya, perbedaan itu boleh, debat antarkader silakan, namun kalau partai sudah memutuskan, maka semua kader harus patuh dan tunduk dengan realitas dan kehendak partai, mengikut pada garis komando partai tersebut seperti keputusan Majelis Tinggi Partai Demokrat yang mengusung Prabowo-Sandi," terang Pangi.
Sementara, Pangi menyebut, jika kader partai dibiarkan tidak disiplin secara organisasi, maka loyalitas kader juga akan cenderung menurun. Kondisi itu berujung pada rendahnya soliditas dan mesin partai karena setengah hati dalam berjuang. Dengan demikian, partai hanya akan melahirkan kader-kader pragmatis dan oportunis.
Oleh karena itu, DPP Partai Demokrat dinilai perlu memberikan sanksi pada kader yang membelot, tidak taat dan tidak disiplin pada keputusan partai. Justru adanya dispensasi, demokrat masuk dalam 'jebakan batman', bunuh diri dan berbahaya bagi masa depan partai demokrat.
"Tak ada untungnya main dua kaki, main di tengah. Bukankah Partai Demokrat sudah merasakannya?" tutup Pangi.
Baca juga:
- SBY akan Jadi Penasihat Khusus Prabowo
- Ini Kata Soekarwo Soal Sikap Demokrat Jatim di Pilpres 2019
- Gerindra Yakin Demokrat Konsisten Dukung Prabowo-Sandi
Politik 'dua kaki' ala Demokrat
Sekretaris Jendral Partai Demokrat Hinca Pandjaitan membenarkan perihal politik 'dua kaki' yang diterapkan partainya. Dia mengatakan, hal itu dilakukan untuk menyambut pemilihan presiden (Pilpres) 2019 dan pemilihan legislatif (pileg).
"Jadi demokrat betul kaki dua, kanan pilpres dan kiri pileg," kata Hinca Pandjaitan sebelum pertemuan bakal calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Jakarta, Rabu (12/9), sembari tertawa.
Kepala Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean pun mengklarifikasi politik 'dua kaki' partainya. Menurut dia, sikap politik Partai Demokrat bukan berarti satu kaki lainnya mendukung bakal calon presiden Jokowi.
"Tidak seperti itu. Tapi memang kami memikirkan dua hal, maka kami bermain dua kaki," kata dia di kediaman Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (12/9).
Ia menjelaskan, satu kaki Partai Demokrat untuk mengamankan suara pada Pileg 2019. Menurut dia, Partai Demokrat menargetkan 10 persen suara nasional. Sementara itu, kaki yang kedua pada Pilpres 2019.
"Yang kami dukung yaitu Pak Prabowo. Nah dua hal ini menjadi tugas Partai Demokrat untuk memenangkannya," tegas dia.
Ferdinand mengatakan, meski Partai Demokrat mendukung Prabowo, kepentingan partai tidak boleh dibaikan. Karena itu, muncul istilah dispensasi untuk menyusun langkah, narasi, serta literasi kampanye di daerah.
Menurut dia, Jokowi memiliki animo publik yang tinggi di beberapa di daerah, seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur (NTT). "Kalau caleg kami datang dengan narasi membawa Pak Prabowo tentu caleg yang kami usung tak mendapat tempat di masyarakat, bahkan ditolak," kata dia.
Ia menegaskan, Partai Demokrat tidak ingin kehilangan suara di Papua dan NTT. Namun, ia memastikan, di daerah lain Partai Demokrat akan mengejar defisit suara di daerah yang didispensasi.
"Jadi dispensasi ke daerah itu, kami izinkan mereka tak bernarasi capres di daerah itu. Tapi narasi yang dibangun terkait dengan pileg Partai Demorkat dan calegnya," kata dia.
Ia menegaskan, dispensasi bukan berarti kader Partai Demokrat mendukung Jokowi. Menurut dia, calegnya tidak ada yang akan melakukan itu. Ferdinand mengatakan, Partai Demokrat memahami etika politik. Dispensasi yang diberikan berarti caleg boleh tidak mengkampabyekan capres.
"Cukup kampanyekan Partai Demokrat dan dirimu sebagai caleg supaya tak hadapi resistensi di masyarakat," kata dia.