REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kurs rupiah dibuka menguat pagi ini, Kamis, (13/9). Dilansir Bloomberg, rupiah terapresiasi 0,16 persen atau 23 poin ke posisi Rp 14.810 per dolar AS.
Sekitar pukul 08.30 WIB, rupiah kembali menguat 0,32 persen atau 48 poin ke posisi Rp 14.785 per dolar AS. Dengan begitu rupiah meninggalkan level Rp 14.800 per dolar AS.
Analis Senior CSA Research Reza Priyambada mengatakan, rupiah memang berpotensi menguat. Hal itu karena kembali adanya sejumlah berita dan penilaian positif terhadap ekonomi Indonesia melalui serangkaian upaya yang dilakukan pemerintah.
"Jadi diharapkan masih bertahan untuk membuat laju rupiah tetap pada kenaikannya. Pelemahan rupiah yang berkurang juga diharapkan dapat kembali berlanjut," ujarnya di Jakarta, Kamis (13/9).
Meski begitu, kata dia, perlu tetap mencermati dan mewaspadai berbagai sentimen. Pasalnya, itu dapat membuat rupiah kembali melemah.
Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis Kantor Staf Presiden (KSP) Denni Puspa Purbasari pun menegaskan pelemahan rupiah tidak akan mencapai titik krisis moneter seperti 1998. Pemerintah tidak panik, tetapi lebih mawas diri dalam mengobservasi data market Indonesia serta berbagai perkembangan terkini di dunia internasional.
“Situasi Indonesia ini jauh berbeda dibandingkan kondisi pada 1998 atau 2008. Satu hal yang pasti cadangan devisa kita jauh lebih kuat, lima kali lebih kuat dibanding 1998,” kata Denni melalui siaran pers, Rabu (12/9).
Cadangan devisa Indonesia, kata dia, per akhir Juli 2018 mencapai 118,3 miliar dolar AS. Sementara saat terjadi krisis ekonomi tahun 1998, cadangan devisa Indonesia hanya sebesar 23,61 miliar dolar AS.
Indikator positif lainnya, kata Denni, Bank Indonesia (BI) mencatat adanya aliran masuk modal asing sebesar 4,5 miliar dolar AS ke Indonesia. Selain itu, pertumbuhan ekonomi juga solid serta tidak ada masalah dengan peringkat surat utang pemerintah.
"Sehingga kita masuk dalam investment grade yang bagus atau layak investasi menurut lima lembaga pemeringkat ekonomi,” ungkapnya.
Ia menambahkan, dalam situasi seperti saat ini penting adanya independensi BI. Situasi ini berbeda dengan negara lain seperti Turki dan Argentina yang juga tengah mengalami krisis.