REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung membantah memperkaya pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan dirinya sendiri sebesar Rp 4,58 triliun. Syafruddin mengutarakan hal tersebut saat menyampaikan nota pembelaan (pledoi) di pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (13/9).
Dalam tuntutannya, ia mengatakan, jaksa menyebut dirinya telah memperkaya Sjamsul Nursalim Rp 4,58 triliun. Ia mengatakan angka itu diperhitungkan pada adanya potensi kerugian negara yang didapat dari pengurangan nilai utang petambak pada 2007 oleh Menteri Keuangan dan PT PPA (Perusahaan Pengelola Aset) sebesar Rp 220 miliar.
“Atas tuntutan JPU ini kami keberatan dan tidak dapat menerima," kata Syafruddin.
Dalam perkara ini, jaksa penuntut umum (JPU) KPK menuntut Syafruddin 15 tahun penjara ditambah denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Sebab, jaksa menilai terdakwa terbukti bersalah menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham BDNI yang merugikan keuangan negara Rp 4,58 triliun.
Jaksa menilai terdakwa memenuhi pelanggaran berdasarkan dakwaan pertama dari pasal 2 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ia didakwa bersama-sama dengan Dorodjatun Kuntjoro-Djakti selaku ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) serta pemilik BDNI Sjamsul Nursalim, dan Itjih S Nursalim.
Namun, Syafruddin mengatakan, orang lain atau Sjamsul Nursalim diduga diperkaya lewat perbuatannya tidak pernah diminta keterangan atau diperiksa oleh penyidik. Ia mengatakan Sjamsul juga tidak pernah dihadirkan di persidangannya, meski dia sudah meminta majelis hakim untuk meminta JPU menghadirkan Sjamsul Nursalim.
“Tidak ada penjelasan dari JPU mengapa Sjamsul Nursalim tidak bisa dihadirkan di persidangan ini," kata Syafruddin.
Syafruddin menilai dakwaan ia memperkaya Sjamsul Nursalim tidak masuk akal. Sebab, Syafruddin sudah mengungakpkan bahwa dia tidak kenal, tidak pernah bertemu, dan tidak pernah berhubungan dengan Sjamsul Nurslaim, baik pada waktu menjabat ketua BPPN pada 26 April 2002 - 30 April 2004 ataupun setelah tidak menjabat lagi sebagai ketua BPPN.
"Bagaimana bisa kami didakwa memperkaya orang lain (Sjamsul Nursalim) yang kami sama sekali tidak kenal dan tidak pernah berhubungan," kata Syafruddin.
Ia pun mengutip keterangan ahli hukum pidana Andi Hamzah dalam sidang 16 Agustus 2018. Andi menyatakan perbuatan memperkaya orang lain harus disertai motif.
“Apa tantenya diperkaya atau teman akrabnya atau kemenakannya atau pamannya atau anaknya. Tapi kalau orang lain sama sekali yang diperkaya tidak masuk akal. Mana ada manusia, pejabat mau memperkaya orang lain dengan merugikan negara yang bukan keluarganya. Untuk apa?” kata Syafruddin mengutip pernyataan Andi Hamzah.
Syafruddin menegaskan fakta di persidangan ini tidak pernah membahas, menguraikan dan menyimpulkan adanya kick back berupa aliran uang atau pemberian harta benda kepada dirinya dan keluarganya dari siapapun terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim. "Kami tidak pernah menerima uang atau harta benda terkait dengan pemberian SKL kepada pemegang saham BDNI Sjamsul Nursalim,” kata dia.
Dalam persidangan, ia mengatakan, tidak ada keterangan saksi fakta dan alat bukti surat yang menunjukkan atau menerangkan bahwa dirinya dan/atau keluarganya dan/atau perusahannya menerima suap, gratifikasi atau kick back dari Sjamsul Nursalim dan atau orang perorangan atau perusahaan terkait dengan Sjamsul Nrusalim. “Persoalan unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi bahkan tidak pernah dibahas, ditanyakan atau disampaikan oleh semua saksi di persidangan ini,” kata Syafruddin.
Artinya, ia mengatakan, JPU KPK tidak bisa memastikan bahwa terdakwa telah memperkaya disi sendiri dan atau keluarga dan atau perusahaan Syafruddin. "JPU KPK mempermasalahkan kami tidak memberikan keterangan tentang seluruh harta benda kami pada waktu proses penyidikan di KPK. Kami memang tidak bersedia menyampaikan harta benda kami yang telah kami melakukan tax amnesty atau pengampunan pajak,” kata Syafruddin.
Menurut Syafruddin, pasal 20 UU No 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak dijelaskan "Data dan informasi yang bersumber dari surat pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan dan pihak lain berkaitan dengan pelaksanaan UU ini tidak dapat dijadikan dasar penyelidikan, penyidikan dan atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak.”
UU No 11 tahun 2016, menurut Syafruddin, adalah UU bersifat khusus atau lex spesialis. Selain itu, UU tersebut keluar lebih belakangan dari UU No 30 tahun 2002 tentang KPK serta UU No 31 tahun 199 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Sehingga unsur tidak pernah menerima 'kick back' untuk diri sendiri orang lain keluarga tidak terbukti," kata Syafruddin.
Judul pledoi Syafruddin adalah "Perjalanan Menembus Ruang Waktu, Ketidakadilan dan Ketidakpastian Mengadili Perjanjian Perdata MSAA (Master Settlement Aqcuisition Agreement) BDNI sepanjang 110 halaman yang dibacakan sendiri selama 3,5 jam.