REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Sejumlah pengrajin batik di Kota Solo, Jawa Tengah mengeluhkan penurunan produktivitas akibat kenaikan harga bahan baku impor. "Akibat pelemahan rupiah ini kan harga bahan baku impor meningkat, tetapi memang kami belum hitung kenaikannya sampai berapa persen," kata Ketua Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan Surakarta Alpha Febela Priyatmono di Solo, Kamis (13/9).
Ia mengatakan kinerja produktivitas kerajinan batik khususnya di Kampung Laweyan saat ini turun 30 persen. Kondisi tersebut terjadi sejak sekitar tiga bulan yang lalu.
Ia mengakui selama ini industri batik masih memiliki ketergantungan cukup besar terhadap bahan baku impor, di antaranya kain dan pewarna kain. "Batik itu konten impornya masih tinggi, bahan pewarna banyak diimpor dari India, sebagian lagi dari Cina. Bahkan untuk kain yang digunakan, 90 persen masih impor dari Cina," katanya.
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku impor saat ini pengrajin batik Laweyan tengah bersemangat memproduksi batik berbahan baku alam. "Memang volumenya belum banyak, tetapi pewarna alam ini bisa menjadi salah satu solusi," katanya.
Kurator Batik Solo Gunawan Kurnia Pribadi mengatakan seharusnya kenaikan harga bahan baku tersebut dimanfaatkan oleh pelaku usaha batik melakukan ekspor sebanyak-banyaknya. "Dengan begitu untungnya juga akan makin besar," katanya.
Ia juga optimistis pelaku usaha di bidang batik bisa tetap bertahan di tengah pelemahan rupiah tersebut mengingat biasanya pelaku UMKM justru lebih kuat dalam menghadapi kondisi pasar. "Ini kan bukan pertama kalinya Indonesia menghadapi pelemahan rupiah. Justru kondisi-kondisi sebelumnya bisa dijadikan pengalaman untuk menyusun strategi," katanya.