REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah memperhatikan kebijakan Cina terkait dengan dinamika perang dagang. AS dan Cina kini sedang mencari jalan keluar bersama untuk menengahi perseteruan dagang antarkedua negara.
"Perkembangan Cina sebagai negara ekonomi kedua ditekan AS dalam perang dagangnya. Dinamika inilah yang perlu diwaspadai, bagaimana reaksi dari Cina untuk menjaga stabilitas perekonomiannya," kata Sri Mulyani dalam seminar nasional yang diselenggarakan Apindo dan Kadin Indonesia di Jakarta, Jumat (14/9).
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut menjelaskan, saat terjadi krisis keuangan Asia 1997-1998, Cina menjaga nilai tukar renminbi stabil. Hal tersebut menyebabkan renminbi menjadi relatif lebih mahal dibandingkan nilai tukar mata uang regional yang terdepresiasi.
Langkah itu bertujuan untuk menciptakan stabilitas ekonomi, karena apabila Cina turut mendepresiasi maka perlombaan penurunan nilai tukar dapat membuat krisis lebih buruk. Kebijakan membuat renminbi stabil juga menjadi respons kebijakan Cina ketika menghadapi krisis keuangan global pada 2008.
Baca juga, Rupiah Melemah, Menkeu: Kita Seleksi Impor.
"Itu menunjukkan bahwa Cina berkontribusi terhadap stabilitas global cukup besar. Dalam 15 tahun terakhir, lokomotif pertumbuhan dunia adalah Cina. Saya bekerja di Bank Dunia jadi saya tahu, kita mau ke pelosok Argentina sampai Afrika pasti berhubungan dengan Cina permintaan komoditasnya" kata Sri Mulyani.
Kondisi perang dagang sekarang menunjukkan, Cina mengalami gangguan karena diserang dari sisi perdagangan. Untuk menghadapinya, Cina tentu akan melakukan banyak sekali respons kebijakan.
"Jadi kalau sesuatu terjadi dengan perekonomian Cina, tidak hanya Indonesia, tetapi seluruh dunia akan terkena. Spillover inilah yang menjadi perhatian. Tidak ada yang akan menang, dalam perang (dagang) semacam ini semuanya akan mengarah pada pemburukan ekonomi global," ujar Menkeu.
Ia berharap Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia yang akan digelar di Bali pada 12-14 Oktober 2018 dapat mempertemukan para menteri keuangan negara-negara peserta untuk mendiskusikan hal tersebut.
Sri Mulyani menjelaskan, dalam situasi ini Indonesia perlu memerhatikan empat pilar ekonomi yang menopang pertumbuhan dan stabilitas ekonomi, yaitu moneter, fiskal, kegiatan ekonomi dan neraca pembayaran.
"Nilai tukar, suku bunga, dan harga minyak semuanya bergerak. Berapa mampu kita bisa menyerap pergerakan itu di dalam APBN sehingga akhirnya bisa tetap sustain," ujar dia.