Jumat 14 Sep 2018 21:56 WIB

Bawaslu: Putusan MA Soal PKPU Caleg Harus Ditindaklanjuti

Bawaslu mengatakan putusan MA adalah fatwa yang sudah dinantikan oleh semua pihak.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Bayu Hermawan
Anggota Bawaslu, Mochamad Afifuddin, saat menyampaikan keterangan pers di Kantor Bawaslu, Thamrin Jakarta Pusat, Selasa (15/5). Bawaslu duga KPU Jawa Barat Kecolongan soal insiden kaos #2019GantiPresiden saat debat publik pada Senin (14/5) malam.
Foto: Republika/Dian Erika Nugraheny
Anggota Bawaslu, Mochamad Afifuddin, saat menyampaikan keterangan pers di Kantor Bawaslu, Thamrin Jakarta Pusat, Selasa (15/5). Bawaslu duga KPU Jawa Barat Kecolongan soal insiden kaos #2019GantiPresiden saat debat publik pada Senin (14/5) malam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Mochamad Afifuddin mengatakan, putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan gugatan uji materi terhadap larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg) harus segera ditindaklanjuti. Menurutnya, putusan dari MA ini adalah fatwa yang sudah dinantikan oleh semua pihak.

"Kami belum membaca putusannya. Tetapi, putusan ini harus ditindaklanjuti karena inilah yang ditunggu-tunggu semua pihak," ujar Afif kepada wartawan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (14/9).

Afif juga mengatakan bahwa Bawaslu belum menerima salinan putusan MA. "Kami pun belum melakukan komunikasi dengan KPU setelah ada putusan ini. Sekarang ini baru mau komunikasi," ucapnya.

Nantinya, Bawaslu akan kembali mempelajari putusan-putusan jajarannya di daerah yang sebelumnya sudah meloloskan mantan narapidana kasus korupsi menjadi bakal caleg. Putusan yang jumlahnya lebih dari 30 itu akan dipelajari satu per satu.

"Tergantung kasusnya. Kalau partai yang sudah menarik (gugatannya) misalnya, apakah mungkin berkasnya masuk lagi. Kalau memang yang kemarin belum dieksekusi tinggal dieksekusi berdasarkan putusan ini," jelasnya.

Afif menambahkan, sebaiknya masyarakat tidak memaknai putusan ini berdasarkan pihak yang menang dan kalah. Bawaslu meminta masyarakat melihat sudah ada solusi atas polemik eks koruptor yang menjadi caleg.

"Ini adalah ketaatan atas hukum dan aturan. Kalau kemarin kita butuh fatwa MA atas perdebatan itu, maka sering sudah ada putusannya dan kita harus menghormati atas nama hukum dan konstitusi," ungkapnya.

Sebelumnya, Juru Bicara MA, Suhadi, membenarkan jika pihaknya telah memutuskan mengabulkan gugatan uji materi tentang larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg). MA menegaskan jika aturan yang ada dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018 dan PKPU Nomor 26 Tahun 2018 itu bertentangan dengan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

"Sudah diputus kemarin (Kamis, 13 September). Permohonannya dikabulkan dan dikembalikan kepada Undang-undang (UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017)," ujar Suhadi ketika dihubungi wartawan, Jumat.

Dengan demikian, maka aturan tentang pendaftaran caleg dikembalikan sesuai dengan yang ada dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Dalam aturan UU itu, larangan eks koruptor menjadi caleg tidak disebutkan secara eksplisit.

Suhadi kemudian menjelaskan tentang pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan MA. Pertama, MA memandang jika kedua PKPU bertentangan dengan aturan di atasnya, yakni UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, tepatnya pasal 240 ayat (1) huruf g. Pasal tersebut menyebutkan 'bakal calon DPR dan DPRD harus memenuhi persyaratan: tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana'.

"Selain itu, mantan narapidana kasus korupsi boleh mendaftar sebagai caleg asal sesuai ketentuan undang-undang pemilu dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK)," tegas Suhadi.

Secara rinci, larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota tertuang dalam pasal 4 ayat (3) PKPU Nomor 20 Tahun 2018.

Pasal itu berbunyi 'dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), (partai politik) tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi'.

Sementara itu, larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota DPD tertuang dalam pasal 60 huruf (j) PKPU Nomor 26 Tahun 2018. Pasal tersebut menyatakan, 'perseorangan peserta pemilu dapat menjadi bakal calon perseorangan peserta pemilu anggota DPD setelah memenuhi syarat bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi'.

Sejak Juli lalu, kedua aturan ini sama-sama digugat oleh sejumlah pihak melalui permohonan uji materi ke MA. Mayoritas penggugat adalah para eks koruptor yang berniat kembali maju sebagai calon anggota dewan  dan dirugikan dengan adanya kedua aturan ini.

Salah satu penggugat tersebut adalah Muhammad Taufik dari Partai Gerindra yang sudah mendaftarkan diri sebagai bakal caleg DPRD Provinsi DKI Jakarta untuk Pemilu 2019. Taufik menilai keberadaan PKPU Nomor 14 Tahun 2018 tidak sesuai dengan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement