REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan menargetkan pada RAPBN 2019 target produksi minyak bisa lebih baik dari tahun ini. Namun, meningkatkan produksi minyak juga dibarengi dengan ongkos produksi yang bisa semakin ditekan dari tahun ke tahun.
Jonan menjelaskan Rencana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (RAPBN) tahun 2019 mendatang sebesar dua juta barrel oil equivalent per day (BOEPD), lebih tinggi dari 2018 yang sebesar 1,921 juta BOEPD. Sedangkan biaya produksi (cost recovery) 10,22 miliar dolar lebih rendah dari outlook 2018 sebesar 11,34 miliar dolar.
"Lifting minyak dan gas bumi sampai hari ini realiasasinya itu 1,921 juta BOEPD, outlook-nya 1,902 juta BOEPD. Dan untuk RAPBN 2019 diusulkan lifting migas sebesar dua juta BOEPD dengan biaya produksi 10,22 miliar dolar AS, dengan kurs sebesar Rp 14.400 per dolar AS," ujar Jonan.
Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, realisasi cost recovery hingga akhir Agustus 2018 sebesar 7,77 miliar dolar AS dan outlook-nya sebesar 11,34 miliar dolar AS. Untuk mengurangi cost recovery ini, menurut Jonan tidak banyak yang bisa dilakukan. Paling banyak sepertiga atau 40 persen karena sisanya merupakan sisa bawaan dari masa kontraknya puluhan tahun yang lalu.
Kepala SKK Migas, Amin Sunaryadi menambahkan, lifting minyak bumi akan didominasi oleh 12 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Di antaranya seperti PT Chevron Pacific Indonesia, Mobil Cepu LTD, PT Pertamina EP dan Pertamina Hulu Energi yang menghasilkan lifting hingga 88 persen dari lifting minyak nasional. "Lifting minyak bumi hingga akhir bulan Agustus 2018 sebesar 774.425 BOPD atau 97 persen dari target lifting. Untuk 2019 mendatang SKK Migas menetapkan forecast sebesar 750 ribu BOPD," ujar Amin.
Amin mengatakan, forecast 2019 itulah yang nanti pada Oktober hingga pertengahan Desember 2018 yang akan dibahas secara detail perincian rencana kerjanya. Sehingga biaya yang akan menjadi cost recovery berapa termasuk produksi dan besar liftinganya.
Sejak 2013 hingga 2018, realisasi cost recovery selalu melampaui target yang sudah ditetapkan. Namun untuk 2019 mendatang, Amin menegaskan bahwa cost recovery akan berkurang. Penyebabnya, karena sebagian kontrak migas skema production sharing contract (PSC) cost recovery berubah menjadi PSC gross split.
"Saat ini yang sudah efektif menggunakan skema gross split, Pertamina Hulu Energi (PHE) ONWJ dan yang baru akan mulai yaitu PHE Tuban dan PHE Ogan Komering. Nanti satu triwulan lagi akan ditambah dengan Sanga-Sanga dan South East Sumatera. Diharapkan penerapan skema gross split akan menurunkan biaya cost recovery," jelas Amin.
Dia menambahkan, komponen cost recovery terbagi menjadi beberapa komponen. Komponen terbesar cost recovery hingga Agustus 2018 ini adalah current year operating cost yakni sebesar 76,8 persen. "Current year operating cost terbagi menjadi cost untuk production 67 persen, cost untuk pengembangan 14 persen, cost untuk general dan administrative 10 persen, dan cost untuk eksplorasi 9 persen," tambah Amin.